Rabu, 26 November 2014

cerpen Pusara



PUSARA
          Berawal dari berjabat tangan,perkenalan itu secara perlahan menyulam pertemanan dan akhirnya terjalin sebuah persahabatan. Memberi kesan yang tak mungkin terlupakan untuk Fiqhi, Nina, dan Nida. Senda gurau yang menghiasi persahabatan mereka tak luput dari kesalah pahaman, terkadang keseharian yang penuh canda tawa dilintasi dengan perbedaan pendapat yang tak jarang menjadi batasan jarak untuk tidak saling menyapa,  meskipun pada akhirnya kebersamaan itu kembali terjalin dengan adanya keceriaan yang merekahkan senyuman bahagia diantara mereka. Kurang dari tiga tahun menyatukan diri sebagai pelajar yang berseragam putih abu-abu disekolah menengah kejuruan swasta yang berada disebuah kota kecil, kebersamaan Fiqhi, Nida dan Nina secara perlahan mulai terenggut.Bermula ketika tugas Praktek Kerja Industri (PRAKERIN) yang mengharuskan mereka untuk berpisah satu sama lain karena tempat yang berbeda dan berjauhan selama tiga bulan berturut-turut. Fiqhi praktek disebuah perusahaan makanan terkemuka, Nina praktek disebuah butik pakaian diluar kota, dan Nida praktek disebuah mini market dikotanya. Keinginan untuk berkumpul bersama senantiasa menyeruak dalam kalbu mereka dan dapat sedikit terobati ketika alat komunikasi itu mendekatkan mereka dalam berkata meskipun tanpa adanya sandaran raga. Tiga bulan yang seakan bergulir begitu lambat akhirnya tiba pada suatu saat ketika mereka menyelesaikan tugas PRAKERIN dan kembali memduduki bangku sekolah yang telah lama tak mereka singgahi. Berbagi cerita tentang pengalaman selama PRAKERIN menjadi sebuah agenda yang tak  mereka lewatkan pada saat kembali bertatap muka, mulai dari Fiqhi yang bertugas untuk mengantar barang dari satu tempat ke tempat lain, Nina yang bertugas menata pakaian, dan Nida yang menjadi seorang kasir mini market, adalah pengalaman dan pembelajaran hidup yang tak akan pernah mereka lupakan. Mereka merasakan bagaimana sulitnya mendapatkan sesuap nasi yang harus melewati perjuangan untuk mendapatkannya.Kurang dari dua bulan mereka kembali belajar efektif didalam kelas,Ninagadis periang ituterserang penyakit.Awalnya yang terlintas didalam benak Nida mungkin ia hanya kelelahan, tapi semakin bertambahnya hari kesehatannya semakin menurun dan semakin jarang pula ia masuk sekolah. Terakhir ia masuk sekolah pada saat ujian praktek mata pelajaran olahraga, badanya mengurus dan wajahnya terlihat sangat pucat.Dalam perjalanan menuju lapangan yang menjadi tempat praktek lari dilaksanakan,  Nina tampak murung dan berjalan sendirian seolah menjaga jarak tanpa berharap ada yang menemani.Setibanya disana sembari menunggu giliran ia duduk bersama Fiqhi,sahabat yang menjadi kekasihnya itu dan biasadipanggilnya dengan sebutan Bintang.Tanpa bisa dilarang ia memaksa untuk mengikuti pelaksanaan praktek lari, Nida dan Nina mendapat giliran bersamaan karena jarak absensi yang berdekatan, dengan suara yang lemas dan terdengar samar, ia mengingatkan Nida untuk tidak berlari dengan cepat karena Nina tak akan mampu melakukannya dengan tubuh yang seakan tak berdaya.
“Nida larinya jangan terlalu cepat ya, aku gak bisa badanku lemas?” Tanya Nina dengan suaranya yang terdengar sangat pelan dan serak.
“Iya, tapi akan lebih baik kalau kamu istirahat saja, Pak Guru juga pasti akan memaklumi keadaanmu Nin” jawab Nida dengan nada menasihati.
“Tidak, meskipun aku sakit tapi aku kuat Nid, percayalah aku akan baik-baik saja” Nina meyakinkan Nida untuk mengizinkannya mengikuti praktek lari.
“Tapi Nin, kalau sakit kamu kambuh lagi bagaimana, kamu jangan khawatir Pak Guru pasti akan tetap memberikan nilai meskipun kamu tidak mengikuti praktek lari, beliau akan memberikan tugas yang bisa kamu kerjakan dirumah Nin?” tanya Nida yang mencemaskan keadaan sahabatnya itu.
“Tolong Nid biarkan aku ikut praktek lari, aku mohon jangan halangi aku seperti Fiqhi yang juga melarangku untuk mengikuti praktek lari ini” Nina merintih kepada Nida untuk mendukungnya mengikuti praktek lari.
“Nin, Fiqhi bukan semata-mata melarang apa yang ingin kamu lakukan tapi ia menghawatirkan keadaanmu, karena ia sangat menyayangimu” seakan tak mau menyerah Nida menasihati Nina.
“Iya Nida, tapi untuk sekali ini saja kalian turuti kemauanku, aku hanya ingin seperti mereka yang bisa mengikuti ujian praktek meskipun aku sakit” Nina memohon-mohon dengan memegang tangan Nida.
“Ya sudah, sekarang aku hanya bisa mendoakanmu Nin supaya kamu kuat untuk mengikuti praktek lari ini dan tidak menjadikan penyakit kamu kambuh lagi” Nida menuruti kemauan Nina meski dalam kekhawatirannya.
“Terimakasih Nid” Nina dan Nida keduanya berpelukan erat.
“Iya Nina, sahabatku yang nakal dan gak mau dinasehati” jawab Nida dengan suasana sedikit bercanda.
“Ih kamu ini Nid, ada-ada saja” Nina tergelak tawa dengan sedikit mencubit tangan Nida.
“Aduh, sakit Nina” Nida mengeluh dengan mencolek pinggang Nina sambil tertawa.
“Geli tau” Nina dan Nida tertawa bersama seakan tak ada beban, dan Nina pun seakan terbebas sejenak dari rasa sakit yang ia derita.   
Berselang beberapa saat satu demi satu peserta yang mendapat giliran lebih dahulu mulai menyelesaikan ujian praktek lari dengan waktu yang telah ditentukan termasuk Fiqhi didalamnya. Pak guru yang mengawasi pelaksanaan ujian mencatat waktu dan jumlah putaran yang mampu dicapai oleh peserta, dan mulai mempersiapkan kembali peserta yang akan mengikuti praktek lari berikutnya termasuk Nina dan Nida. Tak lama kemudian ketikapengaturan wakti dijalankan dan pluit dalam genggaman pengawas dibunyikan Nina dan Nida berlari sangat pelan seperti sedang berjalan dengan tangan yang saling berpegangan, sebisa mungkin Nida terus berusaha menasehati Nina yang dikhawatirkan kesehatannya yang sedang terganggu, supaya mengurungkan niatnya untuk mengikuti praktek lari mengingat kesehatannya yang belum pulih dan jika dipaksakan bisa mengganggu kesehatan tubuhnya yang sedang dalam keadaan rentan.Kurang dari lima menit merekaberjalan, ia tersenggol  salah satu teman laki-laki yang berlari dengan kecepatan sedang dan seakan sengaja menjahili Nina dengan sedikit senyuman yang terlintas dari raut wajahnya dengan postur tubuh yang tinggi besar,seketika itu pula ia terjatuh dengan posisi jongkok dengan tangan mengenai tanah, sigap Nidamengulurkan tangan untuk membantu sahabatnya itu berdiri, Ninamemperlihatkan tangannya yang lecet dan sedikit berdarah, secara perlahan ia mulai berdiri tertatih dengan tangannya yang gemetar. Nida melambaikan tangannya kepada Fiqhi untuk membawa Nina kepinggir lapangan, dengan segera Fiqhi mengahampiri dan Nida menitipkan Nina kepadanya supaya ia mau berhenti berlari, dan akhirnya setelah dibujuk dan dinasehati ia mau berhenti, danmenyelesaikan lari yang belum tuntas satu putaran.Setelah praktek lari selesai dilaksankan Fiqhi, Nina, dan Nida kembali kesekolah dan langsung menuju kantin yang berada didekat lapang olahraga. Disana mereka meneguk segelas air putih untuk menghilangkan rasa dahaga dari tenggorokkannya yang seakan kering kerontang menantikan kesegaran. Ketika mereka sedang istirahat disamping kantin yang berhiaskan pohon rindang Fiqhi, Nina, dan Nida bersama teman-temannya yang lain, Nina sempat mengatakan sesuatu yang seakan tak wajar dan sangat mengejutkan teman-temannya.
“Tubuhku semakin kurus bahkan menurun hingga 15 kg, kalau terus terjadi seperti ini mungkin aku akan mati dengan segera” ujar Nina dengan tenangnya sembari duduk menyandar.
“Bicara apa kamu Nin, pamali tau” Fiqhi tercengang mendengar ucapan kekasihnya itu.
“Iya nih, hidup dan mati kita kan hanya tuhan yang tahu Nin, awas jangan berkata seperti itu lagi” Nida mengingatkan Nina tentang apa yang telah diujarkannya.
“Iya deh iya” Nina berkata dengan tangannya yang memainkan gelas air.
“Nina, mungkin sekarang tuhan sedang menguji kesabaran mu dengan memberi cobaan rasa sakit pada ragamu, tapi bukankah tuhan akan memberi ujian kepada umatnya semata-mata untuk meningkatkan derajat umat dihadapannya, berdoalah dan terus berusaha untuk kesembuhanmu, kami semua akan senantiasa menemanimu melawan penyakitmu itu” Nida menasehati Nina dengan menggenggam tangannya.
“Benar yang dikatakan Nida, tuhan tidak akan memberi cobaan kepada umatnya tanpa ia mempersiapkan sebuah hikmah yang akan ada didalam setiap kejadian, mungkin kita tidak bisa merasakan sakit yang kamu alami, tapi kita akan lebih merasa sakit jika kamu menyerah dan seakan enggan berjuang untuk kebaikanmu sendiri” Fiqhi menambahkan nasihat yang diujarkan Nida kepada Nina.
“Baiklah, mulai sekarang aku tak akan lagi menyerah dengan penyakitku ini, aku akan berusaha demi kebaikanku bersama takdir tuhan yang telah ditetapkan untuk tidak mengecewakan kalian, orangtua, dan semua orang yang menyayangi dan disayangiku” Nina mulai tergerak untuk tidak asal bicara dan tak mau menjadikan teman-teman dan shabatnya bersedih karenanya.
“Nah, ini baru namanya Nina yang selama ini kita kenal, Nina yang selalu kuat dan ceria, semangat kawan” Nida menyemangati Nina.  
“Semangat!” Fiqhi, Nida dan teman-temannya mengangkat kepalan tangannya keatas untuk mensukung Nina.
“Terimakasih semuanya” Nina terharu melihat sikap teman-teman dan sahabatnya yang antusias mendukung Nina untuk terbebas dari penyakit radang sendi dan maag kronis yang ia derita.
“Iya Nina, sama-sama, memberikanmu semangat adalah kewajiban kami” Nida menjawab ucapan terimaksih yang Nina ujarkan. 
Tak berselang lama, mereka bergegas menuju ruangan kelas untuk membawa tas karena kegiatan disekolah hari itu sudah selesai dan mereka pun pulang kerumah masing-masing dengan mengenakan baju seragam olahraga yang berwarna biru muda dan biru tua itu. Keesokan harinya hal yang ditakutkan pun terjadi, Nina kembali tidak masuk sekolah karena kesehatannya semakin memburuk, hari demi hari bahkan sampai hitungan bulan keadaannya semakin mengkhawatirkan, sampai suatu saat ketika kegiatan praktek senam Fiqhi menghampiri Nida.
“Nid, Ibu dan Bapak Nina ada disini, apa yang harus aku lakukan?” tanya Fiqhi yang seakan bingung dengan apa yang harus ia perbuat.
“Sekarang mereka dimana Qhi?” jawab Nina yang kembali bertanya kepada Fiqhi tentang keberadaan orangtua Nina.
“Ibunya sedang keruang guru, sedangkan Bapaknya menunggu di pos satpam, itu beliau” Fiqhi menunjukkan lentik jemari telunjuknya kearah post satpam yang terlihat lurus dari pintu depan kelas.
“Fiqhi, lebih baik sekarang cepat kamu temui mereka, hampiri Bapaknya dan tunggu Ibunya keluar dari ruang guru, tanyakan keadaan dan kesahatan Nina” Nida memberi saran kepada Fiqhi dengan nada lembut dan sedikit menasihati.
Mendengar saran dari Nida, Fiqhi menitipkan jasberwarna hitam yang diletakkan dibahunya pemberian dari Ninadan bergegas pergi mengampiri OrangtuaNina. Terlihat Fiqhi berbincang serius dengan orangtua Nina yang tak lama kemudian meninggalkan sekolah. Fiqhi kembali menghampiri Nida dan mengatakan bahwa keadaan Nina semakin parah ia hanya bisa terdiam didalam kamar dengan terbaring lemah diatas ranjang dan untuk bangunpun harus dibantu.Berselang beberapa minggu tepatnya ketika sedang beralngsung ujian sekolah, datang seorang Ibu guru yang memberitahukan bahwa Nina masuk rumah sakit dan berat badannya tinggal 20 kg, rasa tak percaya mendengar Nina yang biasanya penuh dengan canda tawa dan keceriaan harus tergeletak di rumah sakit, seakan mengendap dalam bendak setiap murid yang ada dikelas dua belas pemasaran satu itu. Nina yang semula adalah siswi yang sangat ceria dalam kesehariannya disekolah kini tak berdaya menahan rasa sakit yang membatasi gerak langkahnya.Setelah ujian pada hari itu selesai Nida bersama teman-teman yang lain bergegas menjenguk Nina yang dirawat disebuah kamar perwatan dilantai dua, tepatnya ruang Dahlia rumah sakit umum daerah yang ada dikota kecil itu.Setibanya disana Fiqhi telah terlebih dahulu berada di dalam kamar bersama keluarga Nina, dengan menahan tangis yang menggenang didalam kelopak yang tak kuasa menahan pilu Nida memegang tangan Nina yang terbujur lemas diatas ranjang paling depan dekat pintu.Tanpa berbicara ia hanya memegang tangan Nidadengan tangannya yang dingin dan menggerakkan lentik jari-jemarinya, dengan suara  perlahan Nina mengeluh kepanasan karena yang menjenguk cukup banyak dan mengelilingi ranjang yang ditempatinya, sebagian dari teman-temannya pun beranjak pergi dan berpamitan karena kasihan melihat Nina yang kepanasan, berbeda dengan Fiqhi yang senantiasa menemani Nina bahkan sampai larut malam.Keesokan harinyasetelah pulang sekolah mereka kembali menjenguk Nina, dan pada saat itu Nida berharap dan mengira keadaan Nina semakin membaik, melihat Nina yang sudah mulai bisa berkomuinkasi meskipun secara perlahan dan seakan tak kuasa menahan penyakit yang menggerogoti tubuhnya, Nina pun sempat bertanya sembari menatap Nida.
“Kemana jalan?”tanya Nina, maksudnnya untuk menanyakan jalan yang Nida dan teman-temannya lintasi menuju kamar tempatnnya dirawat.
“Keparikaran Nin,” Nida menjawab dengan antusias mendengar sahabatnya itu mengajak berkomunikasi.
Meskipun Nida dan teman-temannya yang lain tak mampu membantu Nina dengan materi tetapi memotivasi dan mondoakan Nina adalah tindakan yang senantiasa mereka lakukan supaya Nina lekas sembuh dan bisa kembali berkumpul bersama duduk dibangku sekolah menuntut ilmu untuk masa depan mereka,dengan berjalan kaki mereka melangkah menuju tempat untuk menuggu angkutan umum dan pulang kerumah masing-masing.Berselang satu hari karena hari minggu Nida dan teman-temannya merencanakan untuk kembali menjenguk Nina pada hari senin dan berniat mengumpulkan uang yang akan mereka belikan buah-buahan untuk Nina.Senin di pagi hari sekitar pukul 06.30 wib Nida bersama salah satu temannya melintas di kawasan rumah sakit tempat Nina dirawat, mereka pun membulatkan tekad untuk menjenguk Nina sepulang sekolah, setibanya di kelas keadaan berjalan seperti biasa yang disibukan dengan persiapan ujian, selang beberapa saat pengawas datang dengan membawa map yang berisikan soal dan tata tertib pelaksanaan ujian dan menandakan ujian akan segera dimulai, seluruh siswa yang hadir berbaris rapi didepan kelas dan satu persatu kartu ujian diperiksa dari setiap siswa.Setelah selesai mereka duduk di bangku masing-masing dan tersisa satu bangku kosong, yaitu bangku yang diperuntukan bagi Nina, tidak lama ujian berlangsung datang seorang guru perempuan dengan membawa kabar yang sangat mengejutkan, didepan pintu kelas secara perlahan diberitahukannya bahwa Nina telah wafat sekitar  jam tujuh pagi, dan telah di pastikan kebenarannya oleh pihak sekolah yang telah menghubungi pihak rumah sakit dan keluarga Nina. Gemuruh cahaya berkilat seakan mencambuk raga yang tak beriring damai, mungkin itulah gambaran perasaan Nida, Fiqhi dan teman-teman yang lain mendengar ujaran yang dilafalkan oleh perwakilan guru.Seketika itu pula jerit  tangis menyeruak didalam kelas menyelimuti dua ruangan tempat kelas pemasaran satu melaksanakan ujian, yaitu ruangan yang di tempati Fiqhi dan ruangan yang seharusnya ditempati Nina.  Rasa tak percaya mendengar Nina telah tiada beradu menjadi satu dalam deraian air mata haru yang tak henti mengiringi kepergian Nina yang begitu cepat dan sama sekali tak pernah terbayangkan, guru dan pengawas turun tangan untuk menengkan semua siswa yang berada dalam ruangan dan menyarankan untuk kembali melanjutkan ujian.
“Kami tahu apa yang kalian rasakan sekarang, kehilangan teman seperjuangan sangatlah menyakitkan, tapi apakah kalian hanya mampu menangisi kepergiannya tanpa mempersembahkan untaian doa yang sangat diaharapkan untuk mengiringi kepergiannya. Ikhlaskan teman kalian, tuhan telah membebaskan Nina dari rasa sakit yang selama ini dia rasakan, doakan dia supaya amal ibadah yang ia perbuat membawanya menuju firdaus yang sangat indah, sekarang hentikan sejenak tangis kalian mari kita bersama-sama berdoa untuk Nina, dan kembali lanjutkan ujian kalian” Pengawas menenangkan seluruh siswa dengan nasihat yang ia lantunkan dan mengajak mereka membaca doa untuk Nina.
Seluruh siswa dan pengawas dalam ruangan berdoa dengan khusuk meski dalam deraian air mata yang tak henti membasahi pipi mereka.Terdengar Fiqhi sempat mengamuk mendengar seseorang yang disayangi dan dikasihinya telah tertidur untuk selamanya menuju rumah tuhan pemilik sejati dari raga dan jiwa manusia. Lantas salah satu siswa laki-laki bertubuh tinggi besar yang sempat membuat Nina terjatuh ketika praktek lari meninta izin kepada pengawas untuk menemani Fiqhimelaksanakan shalat gaib di mesjid sekolah dan selanjutnya mengantarnya kerumah Nina.
“Ibu, bolehkah saya menemani Fiqhi untuk melaksanakan shalat gaib di mesjid dan mengantarnya kerumah Nina, saya mohon bu, saya akan melaksakan ujian susulan dihari esok bersama dengan Fiqhi karena saya tidak tega melihatnya bu?” tanya salah satu teman laki-laki mereka itu.
“Jika itu menjadi jalan yang terbaik ibu tidak bisa melarang,pergilah tenangkan dia hati-hati dijalan jangan negbut, meskipun hati kalian sedang tak karuan tapi keselamatan kalian jauh lebih penting” pengawas mengizinkannya untuk menemani Fiqhi dan mengingatkannya supaya berhati-hati.
“Terimakasih bu, saya pamit mengantar Fiqhi. Assalamulaikum” siswa itu mengucapkan terimakasih kepada pengawas yang telah mengizinkannya untuk menemani Fiqhi.
“Iya nak, silahkan” pengawas mempersilahkan salah satu siswa itu untuk meninggalkan ruangan dan kembali melanjutkan ujian susulan dihari esok bersama Fiqhi yang tak mungkin melaksanakan ujian dengan jiwa yang hancur tanpa sedikitpun konsentrasi yang ia lakukan. 
Ibu guru yang bertugas sebagai pengawas dengan mengucapkan basmallah secara perlahan membuka papan nama Nina yang tertera di meja sudut kiri paling depan dekat dengan pintu. Setelah ujian selesai Nida bersama teman-temannya keluar ruangan  bergabung dengan siswa di ruangan yang ditempati Fiqhi, menagisi kepergian Nina yang tak pernah terbayang dan terduga sebelumnya, dengan berjalannya waktu mereka bersama guru-guru bersiap hendak melayat ke rumah Nina yang berjarak cukup jauh dari sekolah, beberapa mobil dan sejumlah motor disiapkan, dan perjalananpun dilakukan dengan penuh keharuan, setibanya disana tanpa sempat memasuki rumah Nina, Lina adik dari Fiqhi yang telah terlebih dahulu tiba disana mengatakan bahwa Nina sedang dalam proses pemakaman.
“Kakak-kakak, sekarang Kak Nina sedang dalam proses pemakaman, letak makamnya disana” Lina menunjuk arah pemakaman yang sedang dilangsungkan pemakaman Nina.
Bersama tangis yang tak henti  mereka bergegas lari dengan tangis yang tak henti menuju makam yang jaraknya lumayan tak jauh dari kediaman Nina dengan jalan yang sedikit menanjak, setibanya disana jasad Nina sudah berada di liang lahat dan tinggal setengah lagi tanah yang dikuburkan diatas makamnya terlihat Fiqhi berdiri memeluk adik Nina dari belakang bersama Bapak Nina tepat disamping makam tempat kekasih yang menjalin asmara dengannya kurang dari dua tahun itu menuju alam yang berbeda, tangis haru tak terbendung melihat raga yang pernah bersama dalam suka dan duka dan kini telah terbujur kaku menghadap kiblat dengan berbalut kain putih ditemani batu nisanyang menjadi pertanda bahwa ia telah berpindah tempat menuju keabadian dan meninggalkan kepanaan dunia, keluarga, orang-orang yang disayangi dan menyayanginya, sekaligus meninggalkan Bintang kekasihnya yang memanggil Nina dengan panggilan Bulan. Setelah pemakaman berlangsung alunan langkah mereka seakan enggan meninggalkan pusara tempat raga Nina terbujur kaku tak berbatas waktu dan jarum jam pun mengarahkan mereka menuju rumah Nina untuk turut berbela sungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan.Setibanya disana Ibu Nina memeluk Nida dengan erat dengan berderai air mata tanpa henti, ditambah lagi suasana haru semakin menjadi ketika dengan berlinang air mata Fiqhi meminta maaf kepada Ibu Nina  karena yang terlintas di benaknnya ia tidak bisa menjaga dan membahagiakan Nina selam ia menjadi kekasihnya.
“Ibu, maafkan aku yang tak bisa menjadi kekasih yang baik untuk Nina dan tidak bisa menjaga dan merawat Nina dengan baik bu, maafkan aku Ibu?” Fiqhi meminta maaf kepada Ibu dari Nina dengan bersujud dipangkuannya dalam tangis yang tak mampu ia sembunyikan.
“Bangun nak, tidak ada yang perlu dimaafkan, justru Ibu yang seharusnya minta maaf karena selama ini Nina telah merepotkan dan bahkan membebanimu, Ibu berterimakasih atas segala kebaikannmu nak” Ibu Nina membangunkan Fiqhi dari pangkuannya dan memeluknya erat dengan tangis yang seakan tiada henti.
“Tidak bu, Nina tidak pernah membebaniku, saya sangat menyayangi dia bu” Fiqhi menjawab dalam tangisnya.
Seolah memberikan firasat akan kepergiannya Nina membeli sepasang jas berwarna hitam yang dikenakannya bersama Fiqhi,dan tak pernah Nida sangka kalimat “kemana jalan” yang diucapkan Nina ketika dirumah sakit adalah kata-kata terakhir yang Nida dengar langsung dari alat ucap sahabatnya itu. Tak ada lagi sosok gadis periang yang ada hanyalah pusara yang bertuliskan nama dengan dua buah tanggal yang tertera diatas kayu dengan tinta hitam dan menjadi petunjuk bahwa ia telah tiba di tempat peristirahatan terakhirnya. Mimpi buruk adalah gambaran suasana yang terjadi. Fiqhi dan Nida seakan meronta untuk terbangun dari mimpi buruknya, tapi mimpi buruk itu benar adanya dan waktupun tak bisa lagi mengembalikan kebersamaan mereka yang terjalin selama ini. Hari itu adalah hari tanpa senyuman dan hanya berhias berhias butiran nyawa yang sekan tak henti melintasi kelopak-kelopak jiwa yang nestapa. Persahabatan Fiqhi, Nida dan Nina kini berbatas jarak untuk selamanya. Mereka tidak lagi terpisahkan oleh tugas PRAKERIN yang memisahkan jarak mereka dengan tempat yang berbeda dan berjauhan, tetapi lebih dari itu mereka terpisahkan ruang dan waktu bahkan alam yang berbeda. Fiqhi dan Nida tak lagi mampu bersapa dalam tatapan nyata bersama Nina, melainkan mereka hanya bisa menyapa Nina dalam untaian merdu lafal doa dari lirik-lirik suci yang dilantunkan merdu dalam kesungguhan dan berkunjung menuju bukit sepi yang berhiaskan kamboja cantik disamping pusara yang mengandung raga tak bernyawa didalamnya.Nina kini tinggal sebuah nama yang meninggalkan potret wajahnya menjadi sampul helaian-helaian kertas dalam salah satu surat yang tertera dalam kitab suci. Nina abadi dalam lelapnya sedangkan Fiqhi dan Nida harus tetap melanjutkan kehidupannya yang tak mungkin dilalui terlalu larut dala duka yang tak berujung. Raga mereka tak lagi bersama tetapi kebersamaan yang kini telah menjadi kenyataan yang teramat menyakitkan tersusun rapi menjadi sebuah rangkaian kenangan yang tak akan pernah terlupakan untuk Fiqhi dan Nida dari sahabat yang selama lebih dari dua tahun menemani jejak disetiap langkah persahabatan. Pusara adalah satu-satunya pertanda keberadaan Nina, disanalah kelopak mata indahnya terlelap untuk selamanya ditutupi kapuk putih lembut yang menghentikan pandangannya dari kefanaan dunia, dibawah dinding tanah yang membebaskannya dari kejaran penyakit yang seakan tak henti menggerogoti tubuh mungil yang berkulit putih itu. Raganya telah abadi terpendam bersama rasa kasihnya untuk Fiqhi yang tak mungkin lagi terukir indah di dunia nyata, urat nadinya tak lagi berdenyut dan memisahkan jiwa dari raganya.    

essay Belenggu



BELENGGU
BY RianyMartien
NIM: 1211503111
           
            Almost in every literary workslove to be the main topic is always interesting for discuss. Love can not be separated from the female figure which makes her the center of the attentions. They are interesting with all problems relating to men, both in terms of romance, violence, or anything that degrades women compared with men.Talking about any problems of woman is inseparable from feminist issues. Feminist Theory is discussed of the rights of women or the position of women in society, both in terms of politics, economy and etc. the purpose of feminist for a woman is going to get freedoms and women's rights as human being son this earth without any constraint of rights.
            The ideas of feminist are born from Mary Wollstonecraft’s as first modern feminists. She had already published her book the title is A Vindication of the Rights of Woman (1792). The book becomes a foundation for a woman; in this book Mary explains many things about woman and she tells about distinction woman and man. In her book she wants to tell what the differences between woman and man in personal right, educations, power and ideas. And the book becomes basic theory of feminist.
            In Belengu’s novel by Armijn Pane the delineation of woman character as a woman who want to be herself and establish life herself. The novels can’t be separated with feminist theory that reveal by Mary Wollstonecraft. The story of the novels describing the problems of husband and wife (Kartono and Sumartini)and we can see the topic of the story is love and feminist this is interesting to discuss. In the novel there are two character of women, the first is Sumartini or Kartono’s wife and the second is Rohayah( Yah, nyonyaEni, SitiHaryati) or Kartono’s girl friend, from the both of the character  has a same characteristic and behavior of woman in reality. The one wants to live freely without any restraint and that one wants to live better with someone she loved ones and the both of the character wish to deter mine their own lives. Sumartinii as modern woman  who has amid pastas free associating. He was always feel lonely because her husband busyness with his patience and forget and leave her at home alone.While Siti Rohayah is a woman who should run the forced marriage. He felt frustrated, so it fell into disgrace valley. She is  Sukartono’s friend, or Sukartono’s ex girl friend.
            In this novel displays women's issues related to public view in the 1940s that indirectly hurts women. The views are from people who assume powers understood fully in the hands of men. To refute the above understanding, the feminist theory that d stretcher by Mary Wollstonecraft which will solve the problems.
            Actually the story of the novel are not telling about an inequity of gender, but the character of woman in the novel is who want to be a normal human being like a man, and they rights of woman without definite anything. Nonetheless the problem in which comes when the Tono hurt his wife (Tini) by has an affair with another girl or Rohayah (his ex girl friend). In this case that thought woman has superiority to man that she still has particular weakness. Base on experience the weaknesses come from woman feeling, so woman easy to be hurt by man.
            The concept of Mary Wollstonecraft is a term of rake. Wollstonecraft use that word to relate a woman and she describe that the man treat the woman like a rake, that opinion she put in pope’s essay “..that every woman is at heart a rake” (Nurrachman’s, 2013:88). For proves this concept I found some dialog in Belengu that show a man just exploited a woman “perempuan sekarang hanya meminta haknya saja pandai. Kalau suaminya pulang dari kerja, benar dia suka menyambutnya, tapi ia lupa mengajak suaminya duduk, biar ditanggap kansepatunya(Pane, 2010:16)”. We can saw that the dialog is rake from man to women because in our opinion that the dialog is exploited of woman. Mary Wollstonecraft assumes that woman can have a right like, education and the other rights like a man in herself. The woman who has a high education want to same with a man that she want to work and didn’t just housewife, in BelennguI found the part that explain Tini want to be work and out of house everywhere without asking to her husband “bukankah laki kujuga pergi sendirian? Mengapa aku tidak boleh?Apakahbedanya (Pane, 2010:53)”. The part saw that Tini want to same with her husband, she can go everywhere she want without asking her husband.
            One of the concepts of Mary Wollstonecraft is woman expect, she describe that woman can be reasonable than a man which put in Nurrachman’s “…. To expect women to be more reasonable than a man in their likings” (Nurrahman, 2013:88). For proves that concept we can saw this part “tono engkau heran? Mengapaperempuansepertiakumempunyaipikiran yang sedalamitu (Pane. 2010:39)”. In this part saw that woman has knowledge more than man, because the woman in this novel has a modern like Tini the main character of woman in the novels is has high education and Rohayah always read the books form the man who life with her before.
            Women always wishful happy life with her husband who doted on him at home with fancy clothes and jewelry given her husband and it’s all caused by those who are just reading a novel about a woman who makes the daydream of it, Mary Wollstonecraft assert her opinion in her book that “these are the women who are amused by the reveries of the stupid novel” (Nurrachman, 2013:91). Actually the author is a man who didn’t knows about womanand just tells about stale tales and all of just make a woman going to the folly. So Mary said that the novel is stupid novels.
            Actually, we know that in the novel has two character of woman that focus of attention namely Tini and Rohayah. The both of the character have deferent character. Abrahams put his thought about character in a glossary of a literature, earcmcpeek:
“Characterarepresentedinaliterary workandinterpretedbythe readerregardingmoralvalue​,intellectual, social, andqualityemotionalthe characterthroughwhat he didandhesaid.”(M.H. Abraham, a glossary of a literature, earcmcpeek, 32)
            Depend on that theory we can analyze the character both of woman in the novel. Physically they are so different; from above we know that Tini is beautiful woman, smart, and well education.Tini as a woman who has well education feels honored than Rohayah just as a mistress like is a part in story. “ Berkenalan! Akudatangbukanuntukberkenalan.Manaperempuan yang baik-baiksukaberkenalandenganperempuansepertiengkau?(Pane, 2010:131). Tini feel she better than Rohayah because she get well educations and as a doctor’s wife. Whereas Rohayah is a woman as mistress who always shift about many hotels and always change her names every change hotels. From both of woman we confess that there are women who have difference character in the story. But the both of the character women in the novel had a same mind for establish life herself.
            Furthermore, Mary Wollstonecraft gives her opinion about the usage of reason of female. According to Wollstonecraft in Nurrachman, “in the fact female mind has been so totally neglected, that knowledge was only to be acquired from his muddy source, till from reading novels some woman of superior talents learned to despise them” (Nurrachman, 2013:92). In this quote perhaps the reason why woman are less in used their logic and more use their feeling or heart, seems like in this part “ah barangkalidiacenburu. “barangkali” katanyaberulangdengankerasseolah-olahmulaimengerti, “diacemburu, benarjugaiacintaakandaku.” Tetapiapakahperlunyacemburukepada orang yang sudahmati?Badannya yang matitapiperbuatannyamasihberbekas”(Pane, 2010:55).this quote show that woman just use their feeling, beside that woman has a temperature mind seems in this part “bahaimanarupaperempuanitu, makaTonotertarik. Perasaanmarahdalamhatinyaberccampurnafsuhendaktahu”(Pane, 2010:129). In this quote show that woman always thinks before know the truth. It’s caused by their reason controlled by feeling or heath. Although a woman has an educated and prestige woman, she still has the weakness and the cause of weakness came from their thinks which use their feeling or their heart before knows the truth.
            Actually the both of the character has same mind for determine her life itself. We can see from this part ““akuhendakkesurabayadulu. Waktukongresakuberkenalandenganseorangnyonyadarisana, diamencariperempuanuntukmemimpinrumahpiatuperkumpulannya. Besokakupergi.” “besok” tonoterkejutjugamendengarTiniakanselekasituberangkat. “mengapabesokTini?” “besokataulusasamasaja”(Pane, 2010:139). In this quote show that Tini want to leave her husband for ending relationship with him. And Rohayah has same mind from Tini for to leave her boy friend, we can see in this quote “ditengahnyaberkrlilinglubangnya, adakertasputihbertulisandengantangan: nyanyianselamattinggaloleh Yah untukTono. Diambilnyaplaatitu, adatertulis “dariduluakusudah tau”(Pane, 2010:144). In this quote we can saw that Rohayah leave Tono.
            Those are argument of main character woman in Belengguused theory feminist by Mary Wollstonecraft. And we think that argument is reasonable to solve the problems of feminist in the story of Belenggu that woman should be able get her rights and establish life herself.
           

essay novel belenggu karya Armajin Pane



Kamis, 14 Februari 2013
Esai Novel Belenggu (Armajin Pane)

Belenggu Perempuan Dalam Kehidupan Pramoderen

Munculnya Liberialisme salah satu pengertian yang menganggap bahwa aliran tesebut menuntut adanya jaminan hak setiap warga negara  terhadap milik pribadi bahwa apa saja yang ada di dalam kehidupan manusia mempunyai hak maupun itu laki-laki dan perempuan . Bukan hanya suami yang mempunyai hak lebih daripada seorang istri yang mestinya turut serta , seorang istri juga mempunyai hak yang sama . Adanya tuntutan didalam zaman modern ini yaitu muncul adanya feminisme yang mengajarkan adanya patriatisme terhadap perempuan . Banyak para ahli yang beranggapan pada institusi perkawinan pada zaman pramoderen sesungguhnya keutamaan perkawinan bukan karena atas dasar cinta dan kasih sayang , melainkan pada ekonomi dan intelektual yang dimiliki seseorang . Berbeda atas perkawinan paksa atau dijodohkan dengan orang tua karena dalam periode dan zaman pramoderen yang berpikir masih kolot dan belum dipengaruhi oleh bangsa lainnya .
Pada periode pra kemerdekaan bangsa Indonesia banyak pengarang karya sastra yang mengambil tema kawin paksa  . Adanya pertentangan golongan muda dan golongan tua ,dimana golongan tua yang masih mempertahankan adat sedangkan golongan muda yang tidak selamanya adat itu benar dan membawa kebaikan tetapi cenderung memperlambat kemajuan zaman . Tetapi jarak satu langkah periode pra kemerdekaan , para pengarang mulai menulis karya sastra yang mengangkat tema lebih beragam misalnya dengan mengangkat tema persoalan wanita atau emansipasi wanita . Bentuk dari karya sastra lebih luas dan sudah tidak terikat dalam periode yang mengangkat tema kawin paksa dan pengarangnya sudah bebas mengeluarkan ide dan gagasan dalam penyampaian karya sastra .
Dalam perkembangan teori sastra mengikuti kecenderungan dalam paradigma politis dan sosiologis . Misalnya di dalam roman yang saya baca dan mencoba untuk saya telaah dalam stilistika kesusastraan Indonesia . “Belenggu” salah satu roman yang menggunakan teori feminisme ,pengarang karya sastra roman ini adalah Armyn Pane . Dimana Armyn  Pane mengungkapkan gagasannya di dalam menciptakan seni ,ia tidak semata-mata mengabdi pada keindahan tetapi keindahan itu sendiri harus bermanfaat bagi masyarakat . Selaras dengan pernyaatannya dalam paham seni ia lebih mengutamakan isi daripada bentuk .makna dari paham seni disebut juga dengan asas seni . Dimana paham ini adalah aturan-aturan untuk menciptakan seni , yang terkenal dengan sebutan seni bertenden dan seni untuk seni . Armyn Pane menciptakan roman “Belenggu” bahasa yang diciptakan terkadang masih membingungkan pembaca mungkin ada pergeseran bahasa Melayu ke bahasa Indonesia . Yang menarik dalam roman ini adalah suasana yang diciptakan romantikus dimana pembaca dibawa oleh suasana pengembara dalam jiwa dan tanpa menggunakan logika kejadian .
Tono seorang dokter yang menikahi seorang wanita cantik  dan berintelektual bernama Tini . Alasan mereka menikah bukan karena cinta melainkan ketertarikan dari profesi dan intelektual , seperti yang saya sebutkan diatas . Dimana mereka tidak saling mencintai , dan jarang bertukar pendapat setiap ada masalah , akhirnya Tono memutuskan untuk menyimpang dari rumah tangganya yaitu bercumbu dengan Yah dimana Tono  lebih nyaman dengannya . Dalam roman “Belenggu”  pengarang mengungkapkan bagaimana keadaan feminis dengan masalah perkembangan zaman , dimana belenggu seorang wanita yang dihadapkan pada masalah dimana ia harus memperjuangkan hak-nya sebagai seorang istri . Banyak para sastrawan yang berpendapat bahwa Armyn Pane adalah seorang yang romantis dalam penyampaian karyanya .Dibawah  ini merupakan pendapat dari seorang sastrawan yang mengapresiasi karya dari Armyn Pane , dengan adanya roman “Belenggu” :
“Kaum kolot tentu akan gempar cemeti realisme yang dilecut-lecut dengan sangat beraninya oleh pengarang-kaum muda,kaum baru ,tentu akan bersorak membacanya ,oleh keinsafan keberanian pengarang memancarkan cahaya pada hal-hal yang tak patut dan tak layak …Memang ,pena saudara Armyn  Pane disini terang amat “tidak kenal kasihan” terhadap hal-hal yang buruk ,dan oleh karena itu nyatalah ,bahwa  pena saudara itu pena Pudjangga sejati ,yang hendak berjuang  yang hendak menghindarkan hal- hal buruk untuk membangunkan semangat baik dan jernih dalam sanubari masyarakat Indonesia ..Cara menggambarkan watak seseorang saya anggap cukup dan cara membawakan perkataan dan menyajikan isinya     ,intelligent ,karena menganggap pembaca intelligent juga ,dan memaksa pembacanya berpikir dalam-dalam. Belenggu ini keuntungan mahabesar untuk literature kita ,untuk pembangunan semangat baru Indonesia.”(M.R. Djaroh,”Pudjangga Baru”.Des.1940)

Diposkan oleh Heltyta Imadina di 23.06







Sekadar Mencatat Manusia dan Kemanusiaan
Sunday, October 05, 2008
Esai: Belenggu Manusia
-- Wildan Nugraha

/1/

MEMBACA Belenggu barangkali adalah membaca kemungkinan sebuah sisi manusia.Manusia dengan belenggunya sendiri.Setidaknya, dalam perspektif Armijn Pane yang mendedah keterbelengguan Tono, Tini, dan Yah, tokoh-tokoh utamanya dalam novel Belenggu.

Diterbitkan pertama kali oleh Dian Rakyat pada tahun 1940, novel karya sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1908 ini, merupakan karya yang kontroversial pada masanya. Banyak komentar bermunculan menanggapi karya Armijn ini, baik yang mencela atau memuji. Di antaranya dalam Pujangga Baru, Desember 1940, Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyebutnya sebagai "romantika yang gelap-gulita", bahkan "yang pesimistis" dan "yang melemahkan semangat". Ditilik dari sisi pragmatik, yang mengharapkan kepraktisan aspek didaktik sebuah karya sastra terhadap pembacanya, Belenggu mungkin memang patut menggegerkan kalangan kritikus kala itu.

Hal itu pula yang menyebabkan naskah Belenggu ditolak Balai Pustaka. Seperti diketahui, kriteria naskah Balai Pustaka saat itu adalah harus tidak melanggar ketertiban, budi pekerti, dan tidak berpolitik yang bertentangan dengan Pemerintah Hindia Belanda, di samping harus mengandung pendidikan kepada masyarakat. Sementara di dalam Belenggu, gambaran kaum intelektual seperti Kartono, Sumartini, dan Yah dianggap tidak memberi "contoh" kepada masyarakat, dianggap sama sekali melanggar ketertiban dan budi pekerti masyarakat. Di samping itu, dirasakan tidak layak bahwa kaum intelek hidup tidak rukun, dokter (Kartono) yang mempunyai simpanan (dan kumpul kebo), lebih-lebih Yah (Siti Rohayah, Ny.Eni, Siti Hayati) adalah perempuan tidak baik (pelacur).Hal ini dianggap memalukan dan dipastikan menimbulkan "keguncangan" kepercayaan masyarakat kepada kaum intelek (Pradopo, 1995).

/2/

Rumah tangga Tono dan Tini digambarkan penuh belenggu. Mereka saling kecewa antara satu dengan yang lain. Penuh kontradiksi; di satu sisi mereka saling membutuhkan, tapi di sisi lain melulu tidak saling puas. Dari informasi yang serba sedikit dan rancak terserak mengenai latar belakang para tokoh cerita di dalam novel ini, pembaca, lewat pemamahan yang tuntas, dapat merunut dengan perlahan dunia kecil dan aspek kejiwaan Tono, Tini, dan Yah.Semacam kunci yang diberikan Armijn guna memahami alur dan logika cerita Belenggu adalah motivasi Tono menikahi Tini.

Seperti pernah diulas kritikus Rachmat Djoko Pradopo (1995), Tono memperistri Tini "hanya" karena merasa tertantang naluri kelelakiannya. Semakin populer dan "garang" seorang gadis, makin sukalah ia. Dan hal tersebut didapatkan Tono pada sosok Tini, yang merupakan gadis ratu pesta, menjadi bunga di kotanya.Jadilah Tono mengawini Tini tidak didasari cinta yang murni, tapi hanya untuk kesukaannya menundukkan seorang gadis flire-type.

Sebaliknya Tini, ia mau diperistri Tono juga bukan bersebab cinta.Hatinya sudah sedingin es sejak ditinggalkan Hartono kekasihnya dulu.Ia hanya ingin menjadi "teman" saja. Ia tidak dapat menaruh cinta kepada Tono. Tini mau diperistri Tono sebab ia seorang dokter, memberi status yang tinggi kepadanya sebagai "Nyonya dokter".

Di sinilah tragik cerita yang rumit itu.Rumit bersebab pasangan suami istri ini terus saja mengombang-ambingkan diri mereka sendiri, tidak saling terbuka guna menuai pelbagai harapan masing-masing. Tini sibuk dengan gagasan-gagasannya soal perempuan yang merdeka di zaman yang baru (hal ini juga yang agaknya membikin ia kelu mengutarakan kecemburuannya kepada Tono atas kesibukan pekerjaan dan lingkungan pergaulannya). Sementara Tono pun sangat sibuk dengan pekerjaannya, meski ternyata ia tidak berhenti memendam angan-angan tentang rumah, dengan harapan-harapannya akan istri yang "berlutut, membukakan tali sepatu" atau "menunggu suami dengan senyum yang murah di rumah".

Pembangunan cerita dilakukan Armijn dengan cukup dramatis.Hampir di sepanjang kisah, Armijn memperlihatkan konflik dalam diri tokoh-tokohnya. Melalui gambar-gambar scenik yang filmis (yang kerap melompat berpindah ruang dan waktu) dan lewat teknik bercerita berbentuk monolog interieur, Armijn mendedah betul detil benak tokoh-tokohnya dengan begitu telanjang dan sugestif. Sehingga, seolah Armijn hendak menyarankan pembaca agar ikut berpikir guna mengenali betul manusia-manusia yang tengah dibacanya, sehingga belenggu yang memang ada itu terindentifikasi dengan saksama.

Juga Armijn dengan cerdas memunculkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang bertaburan dalam benak Tono secara berulang-ulang.Bahkan juga lewat permenungan di benak Tini dan Yah. Seperti pertanyaan: apa perlunya hidup, apa yang kita ketahui, apa perlunya cinta, dsb. Dan oleh Armijn, daftar pertanyaan yang mengindikasikan kegelisahan jiwa (manusia-manusia yang dihadapkan pada zaman yang mulai beranjak melaju dengan cepat sebagai era modern-kontemporer) itu, ternyata bukan merupakan sesuatu yang mudah dicari jawabannya.Tidak serta merta gampang ditemukan pemuasnya yang meredakan, menentramkan.

Seperti Tono dan Yah yang bertemu sebagai kawan lama dan kemudian saling menambatkan hati, ternyata tidak menjadikan kedua tokoh ini lantas merasakan kebahagiaan sejati. Terlebih bagi Tono: belenggu itu tidak kunjung terlepas. Betapa pun sebenarnya ia sudah sampai berpikir: "...begitulah kita seperti dibelenggu oleh angan-angan...oleh angan-angannya sendiri..."

/3/

Sejalan dengan modernisme dan gagasan kebangsaan, ide feminisme mulai banyak dibaca dan dikaji oleh tokoh-tokoh cendekia pada masa itu. Menarik yang dikemukakan oleh Rachmat Djoko Pradopo (1995) mengenai Belenggu.Belenggu, demikian kata Pradopo, hendak mengoreksi keinginan kaum perempuan yang ingin "bebas seratus persen".

Dalam Belenggu, perempuan sejati yang disiratkan Armijn melalui Kartono adalah perempuan yang tahu hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Perempuan yang tetap menyayangi suaminya, mencintainya dengan tidak merasa sebagai budak.Yang diinginkan Kartono adalah perempuan seperti Yah.Oleh karena itu, Tono menjadi tentram di rumah Yah, karena Yah menyambutnya dengan penuh cinta dan kasih sayang, melebihi istri sendiri.Yah mengerti kesukaan "suami", menanggalkan baju dokternya, melepas sepatunya, diganti dengan sandal rumah.

Jelas di sini bahwa ketidaksalingmengertianlah yang menerbitkan belenggu itu, menjadi perkara utama yang mendorong tokoh-tokoh tersebut menemukan dirinya sebagai karakter yang problematis.

/4/

Ulasan H.B. Jassin (1940) atas Belenggu agaknya penting dikemukakan.Ia mempertanyakan gambaran para tokoh Armijn dalam Belenggu yang ditampilkan begitu dasyat. Benarkah mereka serendah itu, serapuh itu jiwanya, sejatuh itu moralnya?Tentu masyarakat tidak suka melihat yang demikian itu.Namun, kata Jassin, pembaca harus memandang diri sendiri, benarkah seperti yang dilukiskan itu. Menurut Jassin, pengarang membuat manusia kenal kembali akan dirinya, agar mau mengkritik dirinya sendiri atau zelfcorectie. Itulah yang mau dikemukakan pengarang.Manusia supaya mengenal dirinya kembali untuk memperbaiki dirinya.

Akan halnya pungkasan cerita yang dibuat menggantung baik bagi Tono, Tini, maupun Yah (tidak ada tempat untuk mereka pegang, semuanya terlepas, masing-masing mencari), hal ini menurut Jassin merupakan gambaran orang di zaman pancaroba.Atau seperti menurut Umar Junus (1981), Tini dan Tono hidup dalam ambiguitas, terperangkap antara sikap yang individualistik dan pandangan sosial.Mereka berada dalam satu dilema disebabkan oleh sikap yang ambigu.Mereka sadar keduanya saling bertentangan, tetapi saling melengkapi.

Barangkali ada benarnya STA menyebut Belenggu sebagai "romantika gelap-gulita", sebab membaca Belenggu mungkin dapat melemparkan pembaca pada kondisi kekosongan jiwa yang labil.Namun, realitas Tono, Tini, dan Yah itu memang beranjak dari realitas faktual, seperti kata Jassin, betapa pun hendak masyarakat mengelakkannya. Tidak berlaku hanya pada masa-masa itu saja, saya kira, bersepakat dengan sastrawan Radhar Panca Dahana (2008), saat mengatakan "roman Belenggu menyodorkan realitas manusia Indonesia yang sebenarnya dibelenggu oleh dirinya sendiri...kita masih mudah menyaksikannya di sekitar kita...jiwa yang sempit, pikiran yang kerdil, imajinasi yang pandak", hingga zaman berlari kencang seperti sekarang ini, belenggu "Tono-Tini-Yah" itu ternyata masih ada, belum lerai juga bila bukan kian sengit dan kuat keberadaannya, sebab makin tampak samar dan wajar saja semua belenggu itu kini kita dapati. Wallahu alam.

* Wildan Nugraha, lahir di Bandung, 12 September 1982. Alumnus Universitas Padjadjaran, Bandung, bergiat di Forum Lingkar Pena Bandung. Tulisan-tulisannya berupa cerpen, esai, dan tinjauan buku dimuat media nasional dan daerah.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Oktober 2008







Sabtu, 01 Oktober 2011
TOKOH UTAMA WANITA DALAM NOVEL "BELENGGU" KARYA ARMIJN PANE DARI PERSPEKTIF FEMINISME (KAJIAN KRITIK FEMINISME)
Oleh:
Alfian Rokhmansyah


Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis, yang mengandung keindahan. Karya sastra diciptakan pengarang untuk dinikmati, dipahami, dihanyati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat pembacanya. Pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat dan lingkungannya, ia tak bisa begitu saja melepaskan diri dari masyarakat lingkungannya.

Karya sastra, seperti diakui banyak orang, merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dan menolak segala sesuatu yang serba “rutinitas” dengan memberikan kebebasan kepada pengarang untuk menuangkan kreativitas imajinasinya. Hal ini menyebabkan karya sastra menjadi lain, tidak lazim, namun juga kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran dan sekaligus menyebabkan pembaca menjadi “terbata-bata” untuk berkomunikasi dengannya. Berawal dari inilah kemudian muncul berbagai teori untuk mengkaji karya sastra, termasuk karya sastra novel.

Novel merupakan salah satu jenis karya sastra prosa yang mengungkapkan sesuatu secara luas.Berbagai kejadian di dalam kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita merupakan gejala kejiwaan.Novel merupakan sebuah “struktur organisme” yang kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung.Hal inilah, antara lain, yang menyebabkan sulitnya pembaca menafsirkan sebuah novel, dan untuk keperluan tersebut dibutuhkan suatu upaya untuk menjelaskannya disertai bukti-bukti hasil kerja kajian yang dihasilkan.

Manfaat yang akan terasa dari hasil kajian itu adalah apabila pembaca (segera) membaca ulang karya sastra yang dikajinya. Dengan cara ini akan dirasakan adanya pembedaan: ditemukan sesuatu yang baru, yang terdapat dalam karya sastra itu sebagai akibat kekompleksitasan karya yang bersangkutan sehingga sesuatu yang dihadapi baru dapat ditentukan. Dengan demikian, pembaca akan lebih menikmati dan memahami cerita, tema, pesan-pesan, tokoh, gaya bahasa, dan hal-hal lain yang diungkapkan dalam karya yang dikaji (Nurgiyantoro, 1995: 32).

Karya yang dijadikan objek penelitian ini adalah novel Belenggu karya Amijn Pane karena dalam novel ini penggambaran tokoh-tokoh wanita hampir sama dengan tokoh dalam kehidupan nyata. Tokoh wanita dalam novel ini digambarkan sebagai wanita yang ingin menjadi dirinya sendiri dan ingin menentukan masa depannya sendiri.

Armijn Pane telah menghasilkan beberapa karya, antara lain: Gamelan Djiwa (Puisi), bagian Bahasa Djawa, Kebudayaan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (tahun 1960); Djiwa Berdjiwa (Puisi), diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta (tahun 1939); Belenggu (Novel), diterbitkan oleh Dian Rakyat. Jakarta (tahun 1991); Djinak-Djinak Merpati (Kumpulan Cerpen), diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta (tahun 1940); Kisah Antara Manusia (Kumpulan Cerpen), diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta, (tahun 1953); Antara Bumi dan Langit (Drama), dalam Pedoman, 27 Februari 1951. Atas Jasa-jasanya dalam bidang seni (sastra), Armijn Pane telah diberi penghargaan Anugerah Seni dari pemerintah tahun 1969.

Dua tokoh utama wanita dalam novel Belenggu mempunyai beberapa kesamaan sifat dan perilaku dengan sifat dan perilaku wanita dalam kehidupan nyata.Satu menginginkan hidup bebas tanpa ada kekangan dan yang satu menginginkan hidup lebih baik dengan orang yang dicintai, serta kedua tokoh tersebut berkeinginan untuk menentukan hidup mereka sendiri.Sumartini adalah seorang wanita modern yang mempunyai masa lalu yang kelam karena bebas bergaul.Dia selalu merana kesepian karena kesibukan suaminya yang tak kenal waktu dalam mengobati orang sakit sehingga melupakan dan membiarkannya dirumah seorang diri.Sedangkan Siti Rohayah adalah seorang wanita yang harus menjalankan kawin paksa.Dia merasa frustasi, sehingga terjerumus kelembah kenistaan.Dia teman dokter Sukartono, suami Sumartini, yang sebenarnya kekasihnya waktu muda.

Novel Belenggu mempunyai daya tarik tersendiri karena menampilkan permasalahan perempuan yang berkaitan dengan pandangan masyarakat pada tahun 1940-an yang secara tidak langsung merugikan kaum perempuan. Padangan tersebut berasal dari paham masyarakat yang menganggap kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki.Topik mengenai perempuan, terutama yang membahas masalah gender beserta bias-biasnya adalah hal yang tetap menarik untuk dibicarakan sampai saat ini.Kalangan perempuan yang telah mengenyam pendidikan modern merasa perlu dan berhak untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya.Sedangkan adat dan tradisi yang telah mengakar menganggap pemikiran ini bisa menghancurkan tatanan yang selama ini telah dinilai berjalan baik. Novel Belenggu ditulis di era 1940-an ketika arus pemikiran tidak progresif seperti masa kini, mampu mengungkap tema tersebut hingga menjadi sebuah pendekatan di antara kalangan sastrawan sendiri.

Secara politik, feminisme, baik sebagai ide maupun aksi politik, akan memiliki pengaruh kepada dua jenis kelamin (gender) yang ada, yakni di satu sisi akan memberikan banyak keuntungan kepada perempuan dan di sisi yang lain, akan mensyaratkan laki-laki untuk menyerahkan berbagai ‘hak-hak istimewa’ yang mereka miliki selama ini. Dengan demikian, laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai feminis akan menimbulkan kecurigaan dari laki-laki dan perempuan pada umumnya. Ada kata lain yang digunakan yakni meninis (meninist) atau yang kelihatannya lebih moderat adalah laki-laki profeminis.

Dalam perkembangannya wanita tidak lagi dihadirkan sebagai korban kekuasaan kaum patriarkhi, tetapi dihadirkan sebagai wanita yang berhak dan bebas menentukan nasib atau masa depannya (seperti dalam Belenggu).Tini yang diharapkan Tono hadir sebagai ibu rumah tangga, ternyata gagal karena lebih memilih sebagai wanita karir, tidak mau dikalahkan kaum pria, dan tidak mau tergantung pada pria. Pada novel tersebut, gambaran wanita tidak lagi pesimis, yang digambarkan adalah wanita aktif, dinamis, optimis, sadar akan kondisi sosialnya, serta berani berjuang mendapat persamaan hak dengan kaum pria.

Permasalahan yang dihadapi oleh wanita terutama yang menyangkut emansipasi wanita ini merupakan kenyataan sosial yang dihadapi oleh wanita tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Dari kenyataan sosial yang dihadapi manusia khususnya wanita memberikan ilham kepada sastrawan untuk menuangkannya ke dalam karya sastra yang akan dibuatnya. Karya sastra ini merupakan buah pikiran seorang pengarang yang bersumber dari pengalaman hidupnya sendiri maupun orang lain.

Wanita Indonesia sudah sejak lama menjadi pusat perhatian para pujangga.Bahkan, tradisi penulisan novel di dalam dunia sastra Indonesia diawali dengan tokoh utama wanita melalui novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Novel tersebut kemudian disusul oleh sebuah novel yang judulnya berupa nama wanita yaitu Sitti Nurbaya oleh Marah Rusli. Novel ini dalam perkembangan selanjutnya seolah-olah menjadi mitos perjuangan wanita Indonesia.Demikian juga novel Salah Asuhan, Salah Pilih, Layar Terkembang, dan Belenggu (Suaka, 2003).

Dari beberapa fiksi yang memuat masalah emansipasi, Belenggu merupakan salah satu novel yang cukup menarik untuk diteliti.Hal ini dikarenakan novel ini merupakan novel yang pernah ditolak oleh Balai Pustaka. Kemudian adanya asumsi dalam masyarakat pada masa itu bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi tidak akan mengalami kegagalan dalam membina rumah tangga. Akan tetapi, Armijn membalikkan asumsi tersebut dengan menceritakan apa yang terjadi pada pasangan dokter Sukartono dan Sumartini, yang keharmonisan rumah tangga mereka akhirnya kandas. Pandangan Armijn yang meletakkan perempuan mampu tampil di sektor publik dan tidak hanya bekerja di lingkungan rumah tangga saja.Pandangan tersebut sangat bertentangan dengan konvensi masyarakat yang menempatkan posisi perempuan sebagai orang yang lemah dan tidak pantas menempati posisi sosial di atas laki-laki.

Berdasarkan hal di atas, dalam penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti sifat dan perilaku tokoh-tokoh utama wanita dari perspektif feminisme kemudian dihubungkan dengan realita kehidupan di alam nyata melalui pendekatan mimetik yang sebelumnya dianalisis dengan pendekatan objektif.









Rabu, 06 Maret 2013

Tono sebagai Tokoh Male Feminis dan Kontra Male Feminis dalam Novel Belenggu Karya Amijn Pane
Oleh: Septian Cahyo P.

Teeuw berpendapat, Belenggu jauh lebih tinggi nilainya daripada kebanyakan penerbitan Balai Pustaka, tetapi justru Balai Pustaka merasa perlu menolaknya dengan alasan yang lemah.Balai Pustaka menolak novel ini untuk diterbitkan karena bicara masalah perselingkuhan. Tema perselingkuhan kala itu masih menjadi tema yang tabu bagi masyarakat Indonesia dan dianggap membuka aib bangsa Indonesia sendiri.

Novel ini memiliki nilai kebaruan yang dapat dilihat dari segi tema, gaya penceritaan pengarang, maupun bentuk kalimatnya. Dari segi tema novel ini tidak lagi mengangkat masalah Timur dan Barat, perkawinan adat, ataupun pertentangan kaum tua dan muda.Armijn mengisahkan konflik batin yang dialami tokoh-tokohnya. Dilihat dari gaya penceritaannya novel ini berbeda dari novel-novel terbitan Balai Pustaka sebelumnya. Armijn Pane adalah yang pertama menampilkan arus gaya kesadaran. Sehingga dibutuhkan kesadaran dan perhatian yang tinggi saat membaca novel ini.Armijn juga menampilkan kebaruan dalam hal penulisan kalimat pada novelnya ini.Kalimat-kalimat dalam Belenggu pendek dan lugas.

Intisari dari novel ini adalah konflik batin antara tokoh dokter Sukartono, Tini, dan Rohayah.Tono (suami Tini) yang sibuk sebagai dokter akhirnya melalaikan tugasnya sebagai seorang suami.Sedangkan Tini yang menyukai kegiatan-kegiatan sosial sibuk pula dengan kegiatannya sendiri.Ia melupakan kedudukannya sebagai seorang istri dokter. Rumah tangga mereka terbelah oleh egoisme masing-masing.Tono yang merasa kurang mendapat perhatian dari istrinya bertemu Rohayah salah seorang pasiennya, dan akhirnya mereka menjalin hubungan perselingkuhan.Rohayah begitu lembut dan penyayang membuat Tono kerasan dengannya.Singkat cerita, Tono dan Tini akhirnya bercerai.Tono yang berharap dapat menikah dengan Rohayah tidak dapat mewujudkan keinginannya, karena Rohayah lebih memilih meninggalkan Tono.

Di akhir cerita setiap tokoh menempuh jalan hidupnya masing-masing.Tono meneruskan sekolah kedokterannya, Tini pergi ke Semarang menjadi seorang aktivis sosial, sedangkan Rohayah pergi ke Nieuw Caledonie, meneruskan profesinya sebagai pekerja seks komersial.

Watak tokoh Tono digambarkan dalam novel ini yaitu dermawan, menyayangi anak-anak, pekerja keras bahkan sampai melupakan istrinya, penyayang, romantis. Tono adalah seorang dokter yang rindu akan kasih sayang, disebabkan istrinya Tini yang sangat kurang perhatian pada dirinya begitu pula Tono yang jarang memperdulikan istrinya. Akibat dari kerinduan akan kasih sayang itu, akhirnya Tono berselingkuh dengan Rohayah, bahkan berniat menceraikan istrinya. Rohayah, seorang pekerja seks komersial, memiliki sifat yang amat penyayang dan lembut, membuat Tono begitu menghargainya.

Sikap Tono dalam memperlakukan dua orang wanita ini dapat dikatakan dua sifat yang bertolak belakang. Pertama, ia bersikap kontra male feminis terhadap Tini dan kedua, ia bersikap male feminis kepada Rohayah. Kedua sikap tersebut tergambar dengan jelas melalui watak Tono, meski tidak terjadi secara mutlak. Maksudnya, tidak sepenuhnya Tono bersikap kontra male feminis terhadap Tini, terkadang ia juga menunjukkan sikap male feminis-nya kepada wanita itu, begitu pula sikapnya terhadap Rohayah.

Istilah male feminis bagi kalangan feminis di Indonesia masih sangat baru dan belum terdengar akrab di telinga. Persoalannya jelas, feminis di Indonesia dapat dikatakan baru berjalan kurang lebih 15 tahun ini, tepatnya dimulai pada pertengahan tahun 1980-an. Itupun baru berupa pergerakan feminisme dan belum sampai pada taraf studi yang intensif yang berupa pengembangan wacana yang kritis dan analisis  sifatnya, apalagi masalah feminis laki-laki.[1][1]

Kaum laki-laki yang ikut berjuang melawan penindasan terhadap perempuan lebih tepat dikatakan sebagai kelompok pro-feminis (male feminis). Sebuah bentuk dekonstruksi, ketika istilah male feminis, berarti akan ada paradoksal yang menyatakan kebalikannya dalam hal ini bisa disebut kontra male feminis. Hal ini merupakan bentuk dari oposisi biner.Kontra male feminis merupakan kebalikan dari male feminis.Jika male feminis mempunyai sifat menghargai terhadap perempuan, maka kontra male feminis adalah mempunyai sifat menentang perempuan.

Tono menunjukkan sikap kontramale feminis-nya terhadap Tini.Hal ini dapat dibuktikan dari sikap Tono yang berselingkuh dengan Rohayah.Apapun alasannya perselingkuhan adalah pengkhianatan.Perselingkuhan itu menunjukkan sikap Tono yang tidak menghargai perempuan. Bukti lain yang menunjukkan sikap kontra male feminis Tono yaitu ketika ia kembali tidak menghargai Tini sebagai istrinya. Ketika Tini sedang bermain piano di suatu pesta, Tono malah pergi meninggalkannya untuk menemui Rohayah.Ketika itu, Tono hendak langsung pergi namun diingatkan oleh temannya yang bernama Mardani untuk berpamitan dengan Tini terlebih dahulu. Bila tidak diingatkan ia pasti akan langsung pergi. Tono berpamitan kepada istrinya hanya dengan mengatakan, “Aku pergi...” (Belenggu, hlm. 88).

Meski begitu, Tono juga menunjukkan sikap male feminis-nya terhadap Tini.Hal ini dapat dilihat dari sikap Tono yang memberikan kebebasan bagi Tini untuk bergiat dalam kegiatan sosial.Ia menghargai sikap sosialis Tini.

Selanjutnya mengenai sikap male feminis Tono terhadap Rohayah. Sikap tersebut dapat dilihat melalui kutipan berikut:
Dia (Tono) mengangguk lalu pergi.Tetapi dia merasa kasihan juga meninggalkan Yah seorang diri saja” (Belenggu, hlm. 88).

Dalam hatinya Tono begitu menyayangi Rohayah, kutipan di atas hanyalah salah satu bukti nyata kasih sayang Tono kepadanya.Ia tidak mampu terlalu lama meninggalkan Rohayah. Bahkan ketika Tini pergi ke luar kota ia sering menginap di rumah Yah. Selain sikap kasih sayangnya kepada Tini, ia juga menghormati Tini karena kecerdasannya. Tini mengajarkan banyak hal kepada Tono.Dengan seorang bekas pelacur, ternyata dokter Tono mampu ditandingi perkataan dan pemikirannya.Kutipan berikut menunjukkan bahwa Rohayah adalah perempuan yang cerdas, karena rajin membaca buku.
“Tuanku banyak bukunya, dia suka membaca.Aku coba membaca, karena kulihat dia tenang kalau membaca.Mulanya tiada lut, kemudian lambat laun hati jiwaku terpendam oleh bacaan.”(Belenggu, hlm. 50).

Sikap kasih sayang dan penghormatan kepada Yah ini yang menjadikan Tono seorang tokoh male feminis.Meski begitu, ternyata Tono juga menunjukkan sikap kontra male feminis-nya terhadap Rohayah. Sikap ini ditunjukkan melalui kutipan berikut:
“Tono menghampirinya.Jarinya menunjuk muka Yah. Katanya dengan keras: “Sipatmu tidak dapat berubah, kerbau suka juga kepada kubangan. Dalam lumpur tempatmu, kembalilah engkau kesana.”

Dapat ditarik kesimpulan bahwa Tono memiliki dua sifat feminis yang saling bertentangan. Mungkin ini adalah salah satu alasan Jassin yang berpendapat “orang-orang yang dilukiskan dalam roman ini hampir-hampir menyerupai karikatur, karena terlampau dilebih-lebihkan; boleh jadi dengan sengaja, boleh jadi juga tidak...”Penggambaran watak tokoh Tono cenderung tidak tegas dan tampak dibuat-buat.






Diposkan oleh Septian Cahyo Putro di 18.50



[1][1] Veri Dani Wardani, Male Feminis danKontra Male Feminis dalam Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Skripsi, (Universitas Negeri Semarang, 2005) Hlm. 21