Kamis, 14
Februari 2013
Belenggu
Perempuan Dalam Kehidupan Pramoderen
Munculnya
Liberialisme salah satu pengertian yang menganggap bahwa aliran tesebut
menuntut adanya jaminan hak setiap warga negara terhadap milik pribadi
bahwa apa saja yang ada di dalam kehidupan manusia mempunyai hak maupun itu
laki-laki dan perempuan . Bukan hanya suami yang mempunyai hak lebih daripada
seorang istri yang mestinya turut serta , seorang istri juga mempunyai hak yang
sama . Adanya tuntutan didalam zaman modern ini yaitu muncul adanya feminisme
yang mengajarkan adanya patriatisme terhadap perempuan . Banyak para ahli yang
beranggapan pada institusi perkawinan pada zaman pramoderen sesungguhnya
keutamaan perkawinan bukan karena atas dasar cinta dan kasih sayang , melainkan
pada ekonomi dan intelektual yang dimiliki seseorang . Berbeda atas perkawinan
paksa atau dijodohkan dengan orang tua karena dalam periode dan zaman
pramoderen yang berpikir masih kolot dan belum dipengaruhi oleh bangsa lainnya
.
Pada periode pra
kemerdekaan bangsa Indonesia banyak pengarang karya sastra yang mengambil tema
kawin paksa . Adanya pertentangan golongan muda dan golongan tua ,dimana
golongan tua yang masih mempertahankan adat sedangkan golongan muda yang tidak
selamanya adat itu benar dan membawa kebaikan tetapi cenderung memperlambat
kemajuan zaman . Tetapi jarak satu langkah periode pra kemerdekaan , para
pengarang mulai menulis karya sastra yang mengangkat tema lebih beragam
misalnya dengan mengangkat tema persoalan wanita atau emansipasi wanita .
Bentuk dari karya sastra lebih luas dan sudah tidak terikat dalam periode yang
mengangkat tema kawin paksa dan pengarangnya sudah bebas mengeluarkan ide dan
gagasan dalam penyampaian karya sastra .
Dalam perkembangan
teori sastra mengikuti kecenderungan dalam paradigma politis dan sosiologis .
Misalnya di dalam roman yang saya baca dan mencoba untuk saya telaah dalam
stilistika kesusastraan Indonesia . “Belenggu” salah satu roman yang
menggunakan teori feminisme ,pengarang karya sastra roman ini adalah Armyn Pane
. Dimana Armyn Pane mengungkapkan gagasannya di dalam menciptakan seni
,ia tidak semata-mata mengabdi pada keindahan tetapi keindahan itu sendiri
harus bermanfaat bagi masyarakat . Selaras dengan pernyaatannya dalam paham
seni ia lebih mengutamakan isi daripada bentuk .makna dari paham seni disebut
juga dengan asas seni . Dimana paham ini adalah aturan-aturan untuk menciptakan
seni , yang terkenal dengan sebutan seni bertenden dan seni untuk seni . Armyn
Pane menciptakan roman “Belenggu” bahasa yang diciptakan terkadang masih
membingungkan pembaca mungkin ada pergeseran bahasa Melayu ke bahasa Indonesia
. Yang menarik dalam roman ini adalah suasana yang diciptakan romantikus dimana
pembaca dibawa oleh suasana pengembara dalam jiwa dan tanpa menggunakan logika
kejadian .
Tono seorang dokter
yang menikahi seorang wanita cantik dan berintelektual bernama Tini .
Alasan mereka menikah bukan karena cinta melainkan ketertarikan dari profesi
dan intelektual , seperti yang saya sebutkan diatas . Dimana mereka tidak
saling mencintai , dan jarang bertukar pendapat setiap ada masalah , akhirnya
Tono memutuskan untuk menyimpang dari rumah tangganya yaitu bercumbu dengan Yah
dimana Tono lebih nyaman dengannya . Dalam roman “Belenggu”
pengarang mengungkapkan bagaimana keadaan feminis dengan masalah perkembangan
zaman , dimana belenggu seorang wanita yang dihadapkan pada masalah dimana ia
harus memperjuangkan hak-nya sebagai seorang istri . Banyak para sastrawan yang
berpendapat bahwa Armyn Pane adalah seorang yang romantis dalam penyampaian
karyanya .Dibawah ini merupakan pendapat dari seorang sastrawan yang
mengapresiasi karya dari Armyn Pane , dengan adanya roman “Belenggu” :
“Kaum kolot tentu
akan gempar cemeti realisme yang dilecut-lecut dengan sangat beraninya oleh
pengarang-kaum muda,kaum baru ,tentu akan bersorak membacanya ,oleh keinsafan
keberanian pengarang memancarkan cahaya pada hal-hal yang tak patut dan tak
layak …Memang ,pena saudara Armyn Pane disini terang amat “tidak kenal
kasihan” terhadap hal-hal yang buruk ,dan oleh karena itu nyatalah ,bahwa
pena saudara itu pena Pudjangga sejati ,yang hendak berjuang yang hendak
menghindarkan hal- hal buruk untuk membangunkan semangat baik dan jernih dalam
sanubari masyarakat Indonesia ..Cara menggambarkan watak seseorang saya anggap
cukup dan cara membawakan perkataan dan menyajikan isinya
,intelligent ,karena menganggap pembaca intelligent juga ,dan
memaksa pembacanya berpikir dalam-dalam. Belenggu ini keuntungan mahabesar
untuk literature kita ,untuk pembangunan semangat baru Indonesia.”(M.R.
Djaroh,”Pudjangga Baru”.Des.1940)
Sekadar Mencatat Manusia dan Kemanusiaan
--
Wildan Nugraha
/1/
MEMBACA Belenggu barangkali adalah membaca kemungkinan sebuah sisi manusia.Manusia dengan belenggunya sendiri.Setidaknya, dalam perspektif Armijn Pane yang mendedah keterbelengguan Tono, Tini, dan Yah, tokoh-tokoh utamanya dalam novel Belenggu.
Diterbitkan pertama kali oleh Dian Rakyat pada tahun 1940, novel karya sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1908 ini, merupakan karya yang kontroversial pada masanya. Banyak komentar bermunculan menanggapi karya Armijn ini, baik yang mencela atau memuji. Di antaranya dalam Pujangga Baru, Desember 1940, Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyebutnya sebagai "romantika yang gelap-gulita", bahkan "yang pesimistis" dan "yang melemahkan semangat". Ditilik dari sisi pragmatik, yang mengharapkan kepraktisan aspek didaktik sebuah karya sastra terhadap pembacanya, Belenggu mungkin memang patut menggegerkan kalangan kritikus kala itu.
Hal itu pula yang menyebabkan naskah Belenggu ditolak Balai Pustaka. Seperti diketahui, kriteria naskah Balai Pustaka saat itu adalah harus tidak melanggar ketertiban, budi pekerti, dan tidak berpolitik yang bertentangan dengan Pemerintah Hindia Belanda, di samping harus mengandung pendidikan kepada masyarakat. Sementara di dalam Belenggu, gambaran kaum intelektual seperti Kartono, Sumartini, dan Yah dianggap tidak memberi "contoh" kepada masyarakat, dianggap sama sekali melanggar ketertiban dan budi pekerti masyarakat. Di samping itu, dirasakan tidak layak bahwa kaum intelek hidup tidak rukun, dokter (Kartono) yang mempunyai simpanan (dan kumpul kebo), lebih-lebih Yah (Siti Rohayah, Ny.Eni, Siti Hayati) adalah perempuan tidak baik (pelacur).Hal ini dianggap memalukan dan dipastikan menimbulkan "keguncangan" kepercayaan masyarakat kepada kaum intelek (Pradopo, 1995).
/2/
Rumah tangga Tono dan Tini digambarkan penuh belenggu. Mereka saling kecewa antara satu dengan yang lain. Penuh kontradiksi; di satu sisi mereka saling membutuhkan, tapi di sisi lain melulu tidak saling puas. Dari informasi yang serba sedikit dan rancak terserak mengenai latar belakang para tokoh cerita di dalam novel ini, pembaca, lewat pemamahan yang tuntas, dapat merunut dengan perlahan dunia kecil dan aspek kejiwaan Tono, Tini, dan Yah.Semacam kunci yang diberikan Armijn guna memahami alur dan logika cerita Belenggu adalah motivasi Tono menikahi Tini.
Seperti pernah diulas kritikus Rachmat Djoko Pradopo (1995), Tono memperistri Tini "hanya" karena merasa tertantang naluri kelelakiannya. Semakin populer dan "garang" seorang gadis, makin sukalah ia. Dan hal tersebut didapatkan Tono pada sosok Tini, yang merupakan gadis ratu pesta, menjadi bunga di kotanya.Jadilah Tono mengawini Tini tidak didasari cinta yang murni, tapi hanya untuk kesukaannya menundukkan seorang gadis flire-type.
Sebaliknya Tini, ia mau diperistri Tono juga bukan bersebab cinta.Hatinya sudah sedingin es sejak ditinggalkan Hartono kekasihnya dulu.Ia hanya ingin menjadi "teman" saja. Ia tidak dapat menaruh cinta kepada Tono. Tini mau diperistri Tono sebab ia seorang dokter, memberi status yang tinggi kepadanya sebagai "Nyonya dokter".
Di sinilah tragik cerita yang rumit itu.Rumit bersebab pasangan suami istri ini terus saja mengombang-ambingkan diri mereka sendiri, tidak saling terbuka guna menuai pelbagai harapan masing-masing. Tini sibuk dengan gagasan-gagasannya soal perempuan yang merdeka di zaman yang baru (hal ini juga yang agaknya membikin ia kelu mengutarakan kecemburuannya kepada Tono atas kesibukan pekerjaan dan lingkungan pergaulannya). Sementara Tono pun sangat sibuk dengan pekerjaannya, meski ternyata ia tidak berhenti memendam angan-angan tentang rumah, dengan harapan-harapannya akan istri yang "berlutut, membukakan tali sepatu" atau "menunggu suami dengan senyum yang murah di rumah".
Pembangunan cerita dilakukan Armijn dengan cukup dramatis.Hampir di sepanjang kisah, Armijn memperlihatkan konflik dalam diri tokoh-tokohnya. Melalui gambar-gambar scenik yang filmis (yang kerap melompat berpindah ruang dan waktu) dan lewat teknik bercerita berbentuk monolog interieur, Armijn mendedah betul detil benak tokoh-tokohnya dengan begitu telanjang dan sugestif. Sehingga, seolah Armijn hendak menyarankan pembaca agar ikut berpikir guna mengenali betul manusia-manusia yang tengah dibacanya, sehingga belenggu yang memang ada itu terindentifikasi dengan saksama.
Juga Armijn dengan cerdas memunculkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang bertaburan dalam benak Tono secara berulang-ulang.Bahkan juga lewat permenungan di benak Tini dan Yah. Seperti pertanyaan: apa perlunya hidup, apa yang kita ketahui, apa perlunya cinta, dsb. Dan oleh Armijn, daftar pertanyaan yang mengindikasikan kegelisahan jiwa (manusia-manusia yang dihadapkan pada zaman yang mulai beranjak melaju dengan cepat sebagai era modern-kontemporer) itu, ternyata bukan merupakan sesuatu yang mudah dicari jawabannya.Tidak serta merta gampang ditemukan pemuasnya yang meredakan, menentramkan.
Seperti Tono dan Yah yang bertemu sebagai kawan lama dan kemudian saling menambatkan hati, ternyata tidak menjadikan kedua tokoh ini lantas merasakan kebahagiaan sejati. Terlebih bagi Tono: belenggu itu tidak kunjung terlepas. Betapa pun sebenarnya ia sudah sampai berpikir: "...begitulah kita seperti dibelenggu oleh angan-angan...oleh angan-angannya sendiri..."
/3/
Sejalan dengan modernisme dan gagasan kebangsaan, ide feminisme mulai banyak dibaca dan dikaji oleh tokoh-tokoh cendekia pada masa itu. Menarik yang dikemukakan oleh Rachmat Djoko Pradopo (1995) mengenai Belenggu.Belenggu, demikian kata Pradopo, hendak mengoreksi keinginan kaum perempuan yang ingin "bebas seratus persen".
Dalam Belenggu, perempuan sejati yang disiratkan Armijn melalui Kartono adalah perempuan yang tahu hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Perempuan yang tetap menyayangi suaminya, mencintainya dengan tidak merasa sebagai budak.Yang diinginkan Kartono adalah perempuan seperti Yah.Oleh karena itu, Tono menjadi tentram di rumah Yah, karena Yah menyambutnya dengan penuh cinta dan kasih sayang, melebihi istri sendiri.Yah mengerti kesukaan "suami", menanggalkan baju dokternya, melepas sepatunya, diganti dengan sandal rumah.
Jelas di sini bahwa ketidaksalingmengertianlah yang menerbitkan belenggu itu, menjadi perkara utama yang mendorong tokoh-tokoh tersebut menemukan dirinya sebagai karakter yang problematis.
/4/
Ulasan H.B. Jassin (1940) atas Belenggu agaknya penting dikemukakan.Ia mempertanyakan gambaran para tokoh Armijn dalam Belenggu yang ditampilkan begitu dasyat. Benarkah mereka serendah itu, serapuh itu jiwanya, sejatuh itu moralnya?Tentu masyarakat tidak suka melihat yang demikian itu.Namun, kata Jassin, pembaca harus memandang diri sendiri, benarkah seperti yang dilukiskan itu. Menurut Jassin, pengarang membuat manusia kenal kembali akan dirinya, agar mau mengkritik dirinya sendiri atau zelfcorectie. Itulah yang mau dikemukakan pengarang.Manusia supaya mengenal dirinya kembali untuk memperbaiki dirinya.
Akan halnya pungkasan cerita yang dibuat menggantung baik bagi Tono, Tini, maupun Yah (tidak ada tempat untuk mereka pegang, semuanya terlepas, masing-masing mencari), hal ini menurut Jassin merupakan gambaran orang di zaman pancaroba.Atau seperti menurut Umar Junus (1981), Tini dan Tono hidup dalam ambiguitas, terperangkap antara sikap yang individualistik dan pandangan sosial.Mereka berada dalam satu dilema disebabkan oleh sikap yang ambigu.Mereka sadar keduanya saling bertentangan, tetapi saling melengkapi.
Barangkali ada benarnya STA menyebut Belenggu sebagai "romantika gelap-gulita", sebab membaca Belenggu mungkin dapat melemparkan pembaca pada kondisi kekosongan jiwa yang labil.Namun, realitas Tono, Tini, dan Yah itu memang beranjak dari realitas faktual, seperti kata Jassin, betapa pun hendak masyarakat mengelakkannya. Tidak berlaku hanya pada masa-masa itu saja, saya kira, bersepakat dengan sastrawan Radhar Panca Dahana (2008), saat mengatakan "roman Belenggu menyodorkan realitas manusia Indonesia yang sebenarnya dibelenggu oleh dirinya sendiri...kita masih mudah menyaksikannya di sekitar kita...jiwa yang sempit, pikiran yang kerdil, imajinasi yang pandak", hingga zaman berlari kencang seperti sekarang ini, belenggu "Tono-Tini-Yah" itu ternyata masih ada, belum lerai juga bila bukan kian sengit dan kuat keberadaannya, sebab makin tampak samar dan wajar saja semua belenggu itu kini kita dapati. Wallahu alam.
* Wildan Nugraha, lahir di Bandung, 12 September 1982. Alumnus Universitas Padjadjaran, Bandung, bergiat di Forum Lingkar Pena Bandung. Tulisan-tulisannya berupa cerpen, esai, dan tinjauan buku dimuat media nasional dan daerah.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Oktober 2008
/1/
MEMBACA Belenggu barangkali adalah membaca kemungkinan sebuah sisi manusia.Manusia dengan belenggunya sendiri.Setidaknya, dalam perspektif Armijn Pane yang mendedah keterbelengguan Tono, Tini, dan Yah, tokoh-tokoh utamanya dalam novel Belenggu.
Diterbitkan pertama kali oleh Dian Rakyat pada tahun 1940, novel karya sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1908 ini, merupakan karya yang kontroversial pada masanya. Banyak komentar bermunculan menanggapi karya Armijn ini, baik yang mencela atau memuji. Di antaranya dalam Pujangga Baru, Desember 1940, Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyebutnya sebagai "romantika yang gelap-gulita", bahkan "yang pesimistis" dan "yang melemahkan semangat". Ditilik dari sisi pragmatik, yang mengharapkan kepraktisan aspek didaktik sebuah karya sastra terhadap pembacanya, Belenggu mungkin memang patut menggegerkan kalangan kritikus kala itu.
Hal itu pula yang menyebabkan naskah Belenggu ditolak Balai Pustaka. Seperti diketahui, kriteria naskah Balai Pustaka saat itu adalah harus tidak melanggar ketertiban, budi pekerti, dan tidak berpolitik yang bertentangan dengan Pemerintah Hindia Belanda, di samping harus mengandung pendidikan kepada masyarakat. Sementara di dalam Belenggu, gambaran kaum intelektual seperti Kartono, Sumartini, dan Yah dianggap tidak memberi "contoh" kepada masyarakat, dianggap sama sekali melanggar ketertiban dan budi pekerti masyarakat. Di samping itu, dirasakan tidak layak bahwa kaum intelek hidup tidak rukun, dokter (Kartono) yang mempunyai simpanan (dan kumpul kebo), lebih-lebih Yah (Siti Rohayah, Ny.Eni, Siti Hayati) adalah perempuan tidak baik (pelacur).Hal ini dianggap memalukan dan dipastikan menimbulkan "keguncangan" kepercayaan masyarakat kepada kaum intelek (Pradopo, 1995).
/2/
Rumah tangga Tono dan Tini digambarkan penuh belenggu. Mereka saling kecewa antara satu dengan yang lain. Penuh kontradiksi; di satu sisi mereka saling membutuhkan, tapi di sisi lain melulu tidak saling puas. Dari informasi yang serba sedikit dan rancak terserak mengenai latar belakang para tokoh cerita di dalam novel ini, pembaca, lewat pemamahan yang tuntas, dapat merunut dengan perlahan dunia kecil dan aspek kejiwaan Tono, Tini, dan Yah.Semacam kunci yang diberikan Armijn guna memahami alur dan logika cerita Belenggu adalah motivasi Tono menikahi Tini.
Seperti pernah diulas kritikus Rachmat Djoko Pradopo (1995), Tono memperistri Tini "hanya" karena merasa tertantang naluri kelelakiannya. Semakin populer dan "garang" seorang gadis, makin sukalah ia. Dan hal tersebut didapatkan Tono pada sosok Tini, yang merupakan gadis ratu pesta, menjadi bunga di kotanya.Jadilah Tono mengawini Tini tidak didasari cinta yang murni, tapi hanya untuk kesukaannya menundukkan seorang gadis flire-type.
Sebaliknya Tini, ia mau diperistri Tono juga bukan bersebab cinta.Hatinya sudah sedingin es sejak ditinggalkan Hartono kekasihnya dulu.Ia hanya ingin menjadi "teman" saja. Ia tidak dapat menaruh cinta kepada Tono. Tini mau diperistri Tono sebab ia seorang dokter, memberi status yang tinggi kepadanya sebagai "Nyonya dokter".
Di sinilah tragik cerita yang rumit itu.Rumit bersebab pasangan suami istri ini terus saja mengombang-ambingkan diri mereka sendiri, tidak saling terbuka guna menuai pelbagai harapan masing-masing. Tini sibuk dengan gagasan-gagasannya soal perempuan yang merdeka di zaman yang baru (hal ini juga yang agaknya membikin ia kelu mengutarakan kecemburuannya kepada Tono atas kesibukan pekerjaan dan lingkungan pergaulannya). Sementara Tono pun sangat sibuk dengan pekerjaannya, meski ternyata ia tidak berhenti memendam angan-angan tentang rumah, dengan harapan-harapannya akan istri yang "berlutut, membukakan tali sepatu" atau "menunggu suami dengan senyum yang murah di rumah".
Pembangunan cerita dilakukan Armijn dengan cukup dramatis.Hampir di sepanjang kisah, Armijn memperlihatkan konflik dalam diri tokoh-tokohnya. Melalui gambar-gambar scenik yang filmis (yang kerap melompat berpindah ruang dan waktu) dan lewat teknik bercerita berbentuk monolog interieur, Armijn mendedah betul detil benak tokoh-tokohnya dengan begitu telanjang dan sugestif. Sehingga, seolah Armijn hendak menyarankan pembaca agar ikut berpikir guna mengenali betul manusia-manusia yang tengah dibacanya, sehingga belenggu yang memang ada itu terindentifikasi dengan saksama.
Juga Armijn dengan cerdas memunculkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang bertaburan dalam benak Tono secara berulang-ulang.Bahkan juga lewat permenungan di benak Tini dan Yah. Seperti pertanyaan: apa perlunya hidup, apa yang kita ketahui, apa perlunya cinta, dsb. Dan oleh Armijn, daftar pertanyaan yang mengindikasikan kegelisahan jiwa (manusia-manusia yang dihadapkan pada zaman yang mulai beranjak melaju dengan cepat sebagai era modern-kontemporer) itu, ternyata bukan merupakan sesuatu yang mudah dicari jawabannya.Tidak serta merta gampang ditemukan pemuasnya yang meredakan, menentramkan.
Seperti Tono dan Yah yang bertemu sebagai kawan lama dan kemudian saling menambatkan hati, ternyata tidak menjadikan kedua tokoh ini lantas merasakan kebahagiaan sejati. Terlebih bagi Tono: belenggu itu tidak kunjung terlepas. Betapa pun sebenarnya ia sudah sampai berpikir: "...begitulah kita seperti dibelenggu oleh angan-angan...oleh angan-angannya sendiri..."
/3/
Sejalan dengan modernisme dan gagasan kebangsaan, ide feminisme mulai banyak dibaca dan dikaji oleh tokoh-tokoh cendekia pada masa itu. Menarik yang dikemukakan oleh Rachmat Djoko Pradopo (1995) mengenai Belenggu.Belenggu, demikian kata Pradopo, hendak mengoreksi keinginan kaum perempuan yang ingin "bebas seratus persen".
Dalam Belenggu, perempuan sejati yang disiratkan Armijn melalui Kartono adalah perempuan yang tahu hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Perempuan yang tetap menyayangi suaminya, mencintainya dengan tidak merasa sebagai budak.Yang diinginkan Kartono adalah perempuan seperti Yah.Oleh karena itu, Tono menjadi tentram di rumah Yah, karena Yah menyambutnya dengan penuh cinta dan kasih sayang, melebihi istri sendiri.Yah mengerti kesukaan "suami", menanggalkan baju dokternya, melepas sepatunya, diganti dengan sandal rumah.
Jelas di sini bahwa ketidaksalingmengertianlah yang menerbitkan belenggu itu, menjadi perkara utama yang mendorong tokoh-tokoh tersebut menemukan dirinya sebagai karakter yang problematis.
/4/
Ulasan H.B. Jassin (1940) atas Belenggu agaknya penting dikemukakan.Ia mempertanyakan gambaran para tokoh Armijn dalam Belenggu yang ditampilkan begitu dasyat. Benarkah mereka serendah itu, serapuh itu jiwanya, sejatuh itu moralnya?Tentu masyarakat tidak suka melihat yang demikian itu.Namun, kata Jassin, pembaca harus memandang diri sendiri, benarkah seperti yang dilukiskan itu. Menurut Jassin, pengarang membuat manusia kenal kembali akan dirinya, agar mau mengkritik dirinya sendiri atau zelfcorectie. Itulah yang mau dikemukakan pengarang.Manusia supaya mengenal dirinya kembali untuk memperbaiki dirinya.
Akan halnya pungkasan cerita yang dibuat menggantung baik bagi Tono, Tini, maupun Yah (tidak ada tempat untuk mereka pegang, semuanya terlepas, masing-masing mencari), hal ini menurut Jassin merupakan gambaran orang di zaman pancaroba.Atau seperti menurut Umar Junus (1981), Tini dan Tono hidup dalam ambiguitas, terperangkap antara sikap yang individualistik dan pandangan sosial.Mereka berada dalam satu dilema disebabkan oleh sikap yang ambigu.Mereka sadar keduanya saling bertentangan, tetapi saling melengkapi.
Barangkali ada benarnya STA menyebut Belenggu sebagai "romantika gelap-gulita", sebab membaca Belenggu mungkin dapat melemparkan pembaca pada kondisi kekosongan jiwa yang labil.Namun, realitas Tono, Tini, dan Yah itu memang beranjak dari realitas faktual, seperti kata Jassin, betapa pun hendak masyarakat mengelakkannya. Tidak berlaku hanya pada masa-masa itu saja, saya kira, bersepakat dengan sastrawan Radhar Panca Dahana (2008), saat mengatakan "roman Belenggu menyodorkan realitas manusia Indonesia yang sebenarnya dibelenggu oleh dirinya sendiri...kita masih mudah menyaksikannya di sekitar kita...jiwa yang sempit, pikiran yang kerdil, imajinasi yang pandak", hingga zaman berlari kencang seperti sekarang ini, belenggu "Tono-Tini-Yah" itu ternyata masih ada, belum lerai juga bila bukan kian sengit dan kuat keberadaannya, sebab makin tampak samar dan wajar saja semua belenggu itu kini kita dapati. Wallahu alam.
* Wildan Nugraha, lahir di Bandung, 12 September 1982. Alumnus Universitas Padjadjaran, Bandung, bergiat di Forum Lingkar Pena Bandung. Tulisan-tulisannya berupa cerpen, esai, dan tinjauan buku dimuat media nasional dan daerah.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Oktober 2008
Sabtu, 01
Oktober 2011
TOKOH UTAMA WANITA DALAM NOVEL "BELENGGU"
KARYA ARMIJN PANE DARI PERSPEKTIF FEMINISME (KAJIAN KRITIK FEMINISME)
Oleh:
Alfian Rokhmansyah
Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis, yang mengandung keindahan. Karya sastra diciptakan pengarang untuk dinikmati, dipahami, dihanyati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat pembacanya. Pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat dan lingkungannya, ia tak bisa begitu saja melepaskan diri dari masyarakat lingkungannya.
Karya sastra, seperti diakui banyak orang, merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dan menolak segala sesuatu yang serba “rutinitas” dengan memberikan kebebasan kepada pengarang untuk menuangkan kreativitas imajinasinya. Hal ini menyebabkan karya sastra menjadi lain, tidak lazim, namun juga kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran dan sekaligus menyebabkan pembaca menjadi “terbata-bata” untuk berkomunikasi dengannya. Berawal dari inilah kemudian muncul berbagai teori untuk mengkaji karya sastra, termasuk karya sastra novel.
Novel merupakan salah satu jenis karya sastra prosa yang mengungkapkan sesuatu secara luas.Berbagai kejadian di dalam kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita merupakan gejala kejiwaan.Novel merupakan sebuah “struktur organisme” yang kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung.Hal inilah, antara lain, yang menyebabkan sulitnya pembaca menafsirkan sebuah novel, dan untuk keperluan tersebut dibutuhkan suatu upaya untuk menjelaskannya disertai bukti-bukti hasil kerja kajian yang dihasilkan.
Manfaat yang akan terasa dari hasil kajian itu adalah apabila pembaca (segera) membaca ulang karya sastra yang dikajinya. Dengan cara ini akan dirasakan adanya pembedaan: ditemukan sesuatu yang baru, yang terdapat dalam karya sastra itu sebagai akibat kekompleksitasan karya yang bersangkutan sehingga sesuatu yang dihadapi baru dapat ditentukan. Dengan demikian, pembaca akan lebih menikmati dan memahami cerita, tema, pesan-pesan, tokoh, gaya bahasa, dan hal-hal lain yang diungkapkan dalam karya yang dikaji (Nurgiyantoro, 1995: 32).
Karya yang dijadikan objek penelitian ini adalah novel Belenggu karya Amijn Pane karena dalam novel ini penggambaran tokoh-tokoh wanita hampir sama dengan tokoh dalam kehidupan nyata. Tokoh wanita dalam novel ini digambarkan sebagai wanita yang ingin menjadi dirinya sendiri dan ingin menentukan masa depannya sendiri.
Armijn Pane telah menghasilkan beberapa karya, antara lain: Gamelan Djiwa (Puisi), bagian Bahasa Djawa, Kebudayaan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (tahun 1960); Djiwa Berdjiwa (Puisi), diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta (tahun 1939); Belenggu (Novel), diterbitkan oleh Dian Rakyat. Jakarta (tahun 1991); Djinak-Djinak Merpati (Kumpulan Cerpen), diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta (tahun 1940); Kisah Antara Manusia (Kumpulan Cerpen), diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta, (tahun 1953); Antara Bumi dan Langit (Drama), dalam Pedoman, 27 Februari 1951. Atas Jasa-jasanya dalam bidang seni (sastra), Armijn Pane telah diberi penghargaan Anugerah Seni dari pemerintah tahun 1969.
Dua tokoh utama wanita dalam novel Belenggu mempunyai beberapa kesamaan sifat dan perilaku dengan sifat dan perilaku wanita dalam kehidupan nyata.Satu menginginkan hidup bebas tanpa ada kekangan dan yang satu menginginkan hidup lebih baik dengan orang yang dicintai, serta kedua tokoh tersebut berkeinginan untuk menentukan hidup mereka sendiri.Sumartini adalah seorang wanita modern yang mempunyai masa lalu yang kelam karena bebas bergaul.Dia selalu merana kesepian karena kesibukan suaminya yang tak kenal waktu dalam mengobati orang sakit sehingga melupakan dan membiarkannya dirumah seorang diri.Sedangkan Siti Rohayah adalah seorang wanita yang harus menjalankan kawin paksa.Dia merasa frustasi, sehingga terjerumus kelembah kenistaan.Dia teman dokter Sukartono, suami Sumartini, yang sebenarnya kekasihnya waktu muda.
Novel Belenggu mempunyai daya tarik tersendiri karena menampilkan permasalahan perempuan yang berkaitan dengan pandangan masyarakat pada tahun 1940-an yang secara tidak langsung merugikan kaum perempuan. Padangan tersebut berasal dari paham masyarakat yang menganggap kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki.Topik mengenai perempuan, terutama yang membahas masalah gender beserta bias-biasnya adalah hal yang tetap menarik untuk dibicarakan sampai saat ini.Kalangan perempuan yang telah mengenyam pendidikan modern merasa perlu dan berhak untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya.Sedangkan adat dan tradisi yang telah mengakar menganggap pemikiran ini bisa menghancurkan tatanan yang selama ini telah dinilai berjalan baik. Novel Belenggu ditulis di era 1940-an ketika arus pemikiran tidak progresif seperti masa kini, mampu mengungkap tema tersebut hingga menjadi sebuah pendekatan di antara kalangan sastrawan sendiri.
Secara politik, feminisme, baik sebagai ide maupun aksi politik, akan memiliki pengaruh kepada dua jenis kelamin (gender) yang ada, yakni di satu sisi akan memberikan banyak keuntungan kepada perempuan dan di sisi yang lain, akan mensyaratkan laki-laki untuk menyerahkan berbagai ‘hak-hak istimewa’ yang mereka miliki selama ini. Dengan demikian, laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai feminis akan menimbulkan kecurigaan dari laki-laki dan perempuan pada umumnya. Ada kata lain yang digunakan yakni meninis (meninist) atau yang kelihatannya lebih moderat adalah laki-laki profeminis.
Dalam perkembangannya wanita tidak lagi dihadirkan sebagai korban kekuasaan kaum patriarkhi, tetapi dihadirkan sebagai wanita yang berhak dan bebas menentukan nasib atau masa depannya (seperti dalam Belenggu).Tini yang diharapkan Tono hadir sebagai ibu rumah tangga, ternyata gagal karena lebih memilih sebagai wanita karir, tidak mau dikalahkan kaum pria, dan tidak mau tergantung pada pria. Pada novel tersebut, gambaran wanita tidak lagi pesimis, yang digambarkan adalah wanita aktif, dinamis, optimis, sadar akan kondisi sosialnya, serta berani berjuang mendapat persamaan hak dengan kaum pria.
Permasalahan yang dihadapi oleh wanita terutama yang menyangkut emansipasi wanita ini merupakan kenyataan sosial yang dihadapi oleh wanita tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Dari kenyataan sosial yang dihadapi manusia khususnya wanita memberikan ilham kepada sastrawan untuk menuangkannya ke dalam karya sastra yang akan dibuatnya. Karya sastra ini merupakan buah pikiran seorang pengarang yang bersumber dari pengalaman hidupnya sendiri maupun orang lain.
Wanita Indonesia sudah sejak lama menjadi pusat perhatian para pujangga.Bahkan, tradisi penulisan novel di dalam dunia sastra Indonesia diawali dengan tokoh utama wanita melalui novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Novel tersebut kemudian disusul oleh sebuah novel yang judulnya berupa nama wanita yaitu Sitti Nurbaya oleh Marah Rusli. Novel ini dalam perkembangan selanjutnya seolah-olah menjadi mitos perjuangan wanita Indonesia.Demikian juga novel Salah Asuhan, Salah Pilih, Layar Terkembang, dan Belenggu (Suaka, 2003).
Dari beberapa fiksi yang memuat masalah emansipasi, Belenggu merupakan salah satu novel yang cukup menarik untuk diteliti.Hal ini dikarenakan novel ini merupakan novel yang pernah ditolak oleh Balai Pustaka. Kemudian adanya asumsi dalam masyarakat pada masa itu bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi tidak akan mengalami kegagalan dalam membina rumah tangga. Akan tetapi, Armijn membalikkan asumsi tersebut dengan menceritakan apa yang terjadi pada pasangan dokter Sukartono dan Sumartini, yang keharmonisan rumah tangga mereka akhirnya kandas. Pandangan Armijn yang meletakkan perempuan mampu tampil di sektor publik dan tidak hanya bekerja di lingkungan rumah tangga saja.Pandangan tersebut sangat bertentangan dengan konvensi masyarakat yang menempatkan posisi perempuan sebagai orang yang lemah dan tidak pantas menempati posisi sosial di atas laki-laki.
Berdasarkan hal di atas, dalam penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti sifat dan perilaku tokoh-tokoh utama wanita dari perspektif feminisme kemudian dihubungkan dengan realita kehidupan di alam nyata melalui pendekatan mimetik yang sebelumnya dianalisis dengan pendekatan objektif.
Alfian Rokhmansyah
Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis, yang mengandung keindahan. Karya sastra diciptakan pengarang untuk dinikmati, dipahami, dihanyati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat pembacanya. Pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat dan lingkungannya, ia tak bisa begitu saja melepaskan diri dari masyarakat lingkungannya.
Karya sastra, seperti diakui banyak orang, merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dan menolak segala sesuatu yang serba “rutinitas” dengan memberikan kebebasan kepada pengarang untuk menuangkan kreativitas imajinasinya. Hal ini menyebabkan karya sastra menjadi lain, tidak lazim, namun juga kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran dan sekaligus menyebabkan pembaca menjadi “terbata-bata” untuk berkomunikasi dengannya. Berawal dari inilah kemudian muncul berbagai teori untuk mengkaji karya sastra, termasuk karya sastra novel.
Novel merupakan salah satu jenis karya sastra prosa yang mengungkapkan sesuatu secara luas.Berbagai kejadian di dalam kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita merupakan gejala kejiwaan.Novel merupakan sebuah “struktur organisme” yang kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung.Hal inilah, antara lain, yang menyebabkan sulitnya pembaca menafsirkan sebuah novel, dan untuk keperluan tersebut dibutuhkan suatu upaya untuk menjelaskannya disertai bukti-bukti hasil kerja kajian yang dihasilkan.
Manfaat yang akan terasa dari hasil kajian itu adalah apabila pembaca (segera) membaca ulang karya sastra yang dikajinya. Dengan cara ini akan dirasakan adanya pembedaan: ditemukan sesuatu yang baru, yang terdapat dalam karya sastra itu sebagai akibat kekompleksitasan karya yang bersangkutan sehingga sesuatu yang dihadapi baru dapat ditentukan. Dengan demikian, pembaca akan lebih menikmati dan memahami cerita, tema, pesan-pesan, tokoh, gaya bahasa, dan hal-hal lain yang diungkapkan dalam karya yang dikaji (Nurgiyantoro, 1995: 32).
Karya yang dijadikan objek penelitian ini adalah novel Belenggu karya Amijn Pane karena dalam novel ini penggambaran tokoh-tokoh wanita hampir sama dengan tokoh dalam kehidupan nyata. Tokoh wanita dalam novel ini digambarkan sebagai wanita yang ingin menjadi dirinya sendiri dan ingin menentukan masa depannya sendiri.
Armijn Pane telah menghasilkan beberapa karya, antara lain: Gamelan Djiwa (Puisi), bagian Bahasa Djawa, Kebudayaan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (tahun 1960); Djiwa Berdjiwa (Puisi), diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta (tahun 1939); Belenggu (Novel), diterbitkan oleh Dian Rakyat. Jakarta (tahun 1991); Djinak-Djinak Merpati (Kumpulan Cerpen), diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta (tahun 1940); Kisah Antara Manusia (Kumpulan Cerpen), diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta, (tahun 1953); Antara Bumi dan Langit (Drama), dalam Pedoman, 27 Februari 1951. Atas Jasa-jasanya dalam bidang seni (sastra), Armijn Pane telah diberi penghargaan Anugerah Seni dari pemerintah tahun 1969.
Dua tokoh utama wanita dalam novel Belenggu mempunyai beberapa kesamaan sifat dan perilaku dengan sifat dan perilaku wanita dalam kehidupan nyata.Satu menginginkan hidup bebas tanpa ada kekangan dan yang satu menginginkan hidup lebih baik dengan orang yang dicintai, serta kedua tokoh tersebut berkeinginan untuk menentukan hidup mereka sendiri.Sumartini adalah seorang wanita modern yang mempunyai masa lalu yang kelam karena bebas bergaul.Dia selalu merana kesepian karena kesibukan suaminya yang tak kenal waktu dalam mengobati orang sakit sehingga melupakan dan membiarkannya dirumah seorang diri.Sedangkan Siti Rohayah adalah seorang wanita yang harus menjalankan kawin paksa.Dia merasa frustasi, sehingga terjerumus kelembah kenistaan.Dia teman dokter Sukartono, suami Sumartini, yang sebenarnya kekasihnya waktu muda.
Novel Belenggu mempunyai daya tarik tersendiri karena menampilkan permasalahan perempuan yang berkaitan dengan pandangan masyarakat pada tahun 1940-an yang secara tidak langsung merugikan kaum perempuan. Padangan tersebut berasal dari paham masyarakat yang menganggap kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki.Topik mengenai perempuan, terutama yang membahas masalah gender beserta bias-biasnya adalah hal yang tetap menarik untuk dibicarakan sampai saat ini.Kalangan perempuan yang telah mengenyam pendidikan modern merasa perlu dan berhak untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya.Sedangkan adat dan tradisi yang telah mengakar menganggap pemikiran ini bisa menghancurkan tatanan yang selama ini telah dinilai berjalan baik. Novel Belenggu ditulis di era 1940-an ketika arus pemikiran tidak progresif seperti masa kini, mampu mengungkap tema tersebut hingga menjadi sebuah pendekatan di antara kalangan sastrawan sendiri.
Secara politik, feminisme, baik sebagai ide maupun aksi politik, akan memiliki pengaruh kepada dua jenis kelamin (gender) yang ada, yakni di satu sisi akan memberikan banyak keuntungan kepada perempuan dan di sisi yang lain, akan mensyaratkan laki-laki untuk menyerahkan berbagai ‘hak-hak istimewa’ yang mereka miliki selama ini. Dengan demikian, laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai feminis akan menimbulkan kecurigaan dari laki-laki dan perempuan pada umumnya. Ada kata lain yang digunakan yakni meninis (meninist) atau yang kelihatannya lebih moderat adalah laki-laki profeminis.
Dalam perkembangannya wanita tidak lagi dihadirkan sebagai korban kekuasaan kaum patriarkhi, tetapi dihadirkan sebagai wanita yang berhak dan bebas menentukan nasib atau masa depannya (seperti dalam Belenggu).Tini yang diharapkan Tono hadir sebagai ibu rumah tangga, ternyata gagal karena lebih memilih sebagai wanita karir, tidak mau dikalahkan kaum pria, dan tidak mau tergantung pada pria. Pada novel tersebut, gambaran wanita tidak lagi pesimis, yang digambarkan adalah wanita aktif, dinamis, optimis, sadar akan kondisi sosialnya, serta berani berjuang mendapat persamaan hak dengan kaum pria.
Permasalahan yang dihadapi oleh wanita terutama yang menyangkut emansipasi wanita ini merupakan kenyataan sosial yang dihadapi oleh wanita tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Dari kenyataan sosial yang dihadapi manusia khususnya wanita memberikan ilham kepada sastrawan untuk menuangkannya ke dalam karya sastra yang akan dibuatnya. Karya sastra ini merupakan buah pikiran seorang pengarang yang bersumber dari pengalaman hidupnya sendiri maupun orang lain.
Wanita Indonesia sudah sejak lama menjadi pusat perhatian para pujangga.Bahkan, tradisi penulisan novel di dalam dunia sastra Indonesia diawali dengan tokoh utama wanita melalui novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Novel tersebut kemudian disusul oleh sebuah novel yang judulnya berupa nama wanita yaitu Sitti Nurbaya oleh Marah Rusli. Novel ini dalam perkembangan selanjutnya seolah-olah menjadi mitos perjuangan wanita Indonesia.Demikian juga novel Salah Asuhan, Salah Pilih, Layar Terkembang, dan Belenggu (Suaka, 2003).
Dari beberapa fiksi yang memuat masalah emansipasi, Belenggu merupakan salah satu novel yang cukup menarik untuk diteliti.Hal ini dikarenakan novel ini merupakan novel yang pernah ditolak oleh Balai Pustaka. Kemudian adanya asumsi dalam masyarakat pada masa itu bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi tidak akan mengalami kegagalan dalam membina rumah tangga. Akan tetapi, Armijn membalikkan asumsi tersebut dengan menceritakan apa yang terjadi pada pasangan dokter Sukartono dan Sumartini, yang keharmonisan rumah tangga mereka akhirnya kandas. Pandangan Armijn yang meletakkan perempuan mampu tampil di sektor publik dan tidak hanya bekerja di lingkungan rumah tangga saja.Pandangan tersebut sangat bertentangan dengan konvensi masyarakat yang menempatkan posisi perempuan sebagai orang yang lemah dan tidak pantas menempati posisi sosial di atas laki-laki.
Berdasarkan hal di atas, dalam penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti sifat dan perilaku tokoh-tokoh utama wanita dari perspektif feminisme kemudian dihubungkan dengan realita kehidupan di alam nyata melalui pendekatan mimetik yang sebelumnya dianalisis dengan pendekatan objektif.
Rabu, 06
Maret 2013
Tono
sebagai Tokoh Male Feminis dan Kontra Male Feminis dalam Novel Belenggu Karya Amijn Pane
Oleh:
Septian Cahyo P.
Teeuw
berpendapat, Belenggu jauh lebih
tinggi nilainya daripada kebanyakan penerbitan Balai Pustaka, tetapi justru
Balai Pustaka merasa perlu menolaknya dengan alasan yang lemah.Balai Pustaka
menolak novel ini untuk diterbitkan karena bicara masalah perselingkuhan. Tema
perselingkuhan kala itu masih menjadi tema yang tabu bagi masyarakat Indonesia
dan dianggap membuka aib bangsa Indonesia sendiri.
Novel
ini memiliki nilai kebaruan yang dapat dilihat dari segi tema, gaya penceritaan
pengarang, maupun bentuk kalimatnya. Dari segi tema novel ini tidak lagi
mengangkat masalah Timur dan Barat, perkawinan adat, ataupun pertentangan kaum
tua dan muda.Armijn mengisahkan konflik batin yang dialami tokoh-tokohnya.
Dilihat dari gaya penceritaannya novel ini berbeda dari novel-novel terbitan Balai
Pustaka sebelumnya. Armijn Pane adalah yang pertama menampilkan arus gaya
kesadaran. Sehingga dibutuhkan kesadaran dan perhatian yang tinggi saat membaca
novel ini.Armijn juga menampilkan kebaruan dalam hal penulisan kalimat pada
novelnya ini.Kalimat-kalimat dalam Belenggu
pendek dan lugas.
Intisari
dari novel ini adalah konflik batin antara tokoh dokter Sukartono, Tini, dan
Rohayah.Tono (suami Tini) yang sibuk sebagai dokter akhirnya melalaikan
tugasnya sebagai seorang suami.Sedangkan Tini yang menyukai kegiatan-kegiatan
sosial sibuk pula dengan kegiatannya sendiri.Ia melupakan kedudukannya sebagai
seorang istri dokter. Rumah tangga mereka terbelah oleh egoisme
masing-masing.Tono yang merasa kurang mendapat perhatian dari istrinya bertemu
Rohayah salah seorang pasiennya, dan akhirnya mereka menjalin hubungan
perselingkuhan.Rohayah begitu lembut dan penyayang membuat Tono kerasan dengannya.Singkat cerita, Tono
dan Tini akhirnya bercerai.Tono yang berharap dapat menikah dengan Rohayah
tidak dapat mewujudkan keinginannya, karena Rohayah lebih memilih meninggalkan
Tono.
Di
akhir cerita setiap tokoh menempuh jalan hidupnya masing-masing.Tono meneruskan
sekolah kedokterannya, Tini pergi ke Semarang menjadi seorang aktivis sosial,
sedangkan Rohayah pergi ke Nieuw
Caledonie, meneruskan profesinya sebagai pekerja seks komersial.
Watak
tokoh Tono digambarkan dalam novel ini yaitu dermawan, menyayangi anak-anak,
pekerja keras bahkan sampai melupakan istrinya, penyayang, romantis. Tono
adalah seorang dokter yang rindu akan kasih sayang, disebabkan istrinya Tini
yang sangat kurang perhatian pada dirinya begitu pula Tono yang jarang
memperdulikan istrinya. Akibat dari kerinduan akan kasih sayang itu, akhirnya
Tono berselingkuh dengan Rohayah, bahkan berniat menceraikan istrinya. Rohayah,
seorang pekerja seks komersial, memiliki sifat yang amat penyayang dan lembut,
membuat Tono begitu menghargainya.
Sikap
Tono dalam memperlakukan dua orang wanita ini dapat dikatakan dua sifat yang
bertolak belakang. Pertama, ia bersikap kontra
male feminis terhadap Tini dan kedua, ia bersikap male feminis kepada Rohayah. Kedua sikap tersebut tergambar dengan
jelas melalui watak Tono, meski tidak terjadi secara mutlak. Maksudnya, tidak
sepenuhnya Tono bersikap kontra male
feminis terhadap Tini, terkadang ia juga menunjukkan sikap male feminis-nya kepada wanita itu,
begitu pula sikapnya terhadap Rohayah.
Istilah
male feminis bagi kalangan feminis di Indonesia masih sangat baru dan
belum terdengar akrab di telinga. Persoalannya jelas, feminis di Indonesia
dapat dikatakan baru berjalan kurang lebih 15 tahun ini, tepatnya dimulai pada
pertengahan tahun 1980-an. Itupun baru berupa pergerakan feminisme dan belum
sampai pada taraf studi yang intensif yang berupa pengembangan wacana yang
kritis dan analisis sifatnya, apalagi
masalah feminis laki-laki.[1][1]
Kaum
laki-laki yang ikut berjuang melawan penindasan terhadap perempuan lebih tepat
dikatakan sebagai kelompok pro-feminis (male feminis). Sebuah
bentuk dekonstruksi, ketika istilah male feminis, berarti akan ada
paradoksal yang menyatakan kebalikannya dalam hal ini bisa disebut kontra
male feminis. Hal ini merupakan bentuk dari oposisi biner.Kontra male
feminis merupakan kebalikan dari male feminis.Jika male feminis mempunyai
sifat menghargai terhadap perempuan, maka kontra male feminis adalah
mempunyai sifat menentang perempuan.
Tono
menunjukkan sikap kontramale feminis-nya
terhadap Tini.Hal ini dapat dibuktikan dari sikap Tono yang berselingkuh dengan
Rohayah.Apapun alasannya perselingkuhan adalah pengkhianatan.Perselingkuhan itu
menunjukkan sikap Tono yang tidak menghargai perempuan. Bukti lain yang
menunjukkan sikap kontra male feminis
Tono yaitu ketika ia kembali tidak menghargai Tini sebagai istrinya. Ketika
Tini sedang bermain piano di suatu pesta, Tono malah pergi meninggalkannya
untuk menemui Rohayah.Ketika itu, Tono hendak langsung pergi namun diingatkan
oleh temannya yang bernama Mardani untuk berpamitan dengan Tini terlebih
dahulu. Bila tidak diingatkan ia pasti akan langsung pergi. Tono berpamitan
kepada istrinya hanya dengan mengatakan, “Aku
pergi...” (Belenggu, hlm. 88).
Meski
begitu, Tono juga menunjukkan sikap male
feminis-nya terhadap Tini.Hal ini dapat dilihat dari sikap Tono yang
memberikan kebebasan bagi Tini untuk bergiat dalam kegiatan sosial.Ia
menghargai sikap sosialis Tini.
Selanjutnya
mengenai sikap male feminis Tono
terhadap Rohayah. Sikap tersebut dapat dilihat melalui kutipan berikut:
“Dia (Tono) mengangguk lalu pergi.Tetapi dia
merasa kasihan juga meninggalkan Yah seorang diri saja” (Belenggu, hlm. 88).
Dalam
hatinya Tono begitu menyayangi Rohayah, kutipan di atas hanyalah salah satu
bukti nyata kasih sayang Tono kepadanya.Ia tidak mampu terlalu lama
meninggalkan Rohayah. Bahkan ketika Tini pergi ke luar kota ia sering menginap
di rumah Yah. Selain sikap kasih sayangnya kepada Tini, ia juga menghormati
Tini karena kecerdasannya. Tini mengajarkan banyak hal kepada Tono.Dengan
seorang bekas pelacur, ternyata dokter Tono mampu ditandingi perkataan dan
pemikirannya.Kutipan berikut menunjukkan bahwa Rohayah adalah perempuan yang
cerdas, karena rajin membaca buku.
“Tuanku banyak bukunya, dia suka
membaca.Aku coba membaca, karena kulihat dia tenang kalau membaca.Mulanya tiada
lut, kemudian lambat laun hati jiwaku terpendam oleh bacaan.”(Belenggu, hlm. 50).
Sikap
kasih sayang dan penghormatan kepada Yah ini yang menjadikan Tono seorang tokoh
male feminis.Meski begitu, ternyata
Tono juga menunjukkan sikap kontra male
feminis-nya terhadap Rohayah. Sikap ini ditunjukkan melalui kutipan
berikut:
“Tono menghampirinya.Jarinya menunjuk
muka Yah. Katanya dengan keras: “Sipatmu tidak dapat berubah, kerbau suka juga
kepada kubangan. Dalam lumpur tempatmu, kembalilah engkau kesana.”
Dapat
ditarik kesimpulan bahwa Tono memiliki dua sifat feminis yang saling
bertentangan. Mungkin ini adalah salah satu alasan Jassin yang berpendapat “orang-orang yang dilukiskan dalam roman ini
hampir-hampir menyerupai karikatur, karena terlampau dilebih-lebihkan; boleh
jadi dengan sengaja, boleh jadi juga tidak...”Penggambaran watak tokoh Tono
cenderung tidak tegas dan tampak dibuat-buat.
Diposkan
oleh Septian Cahyo Putro di 18.50
[1][1] Veri
Dani Wardani, Male Feminis danKontra Male Feminis dalam Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari, Skripsi, (Universitas Negeri Semarang, 2005) Hlm. 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar