Rabu, 26 November 2014

essay novel belenggu karya Armajin Pane



Kamis, 14 Februari 2013
Esai Novel Belenggu (Armajin Pane)

Belenggu Perempuan Dalam Kehidupan Pramoderen

Munculnya Liberialisme salah satu pengertian yang menganggap bahwa aliran tesebut menuntut adanya jaminan hak setiap warga negara  terhadap milik pribadi bahwa apa saja yang ada di dalam kehidupan manusia mempunyai hak maupun itu laki-laki dan perempuan . Bukan hanya suami yang mempunyai hak lebih daripada seorang istri yang mestinya turut serta , seorang istri juga mempunyai hak yang sama . Adanya tuntutan didalam zaman modern ini yaitu muncul adanya feminisme yang mengajarkan adanya patriatisme terhadap perempuan . Banyak para ahli yang beranggapan pada institusi perkawinan pada zaman pramoderen sesungguhnya keutamaan perkawinan bukan karena atas dasar cinta dan kasih sayang , melainkan pada ekonomi dan intelektual yang dimiliki seseorang . Berbeda atas perkawinan paksa atau dijodohkan dengan orang tua karena dalam periode dan zaman pramoderen yang berpikir masih kolot dan belum dipengaruhi oleh bangsa lainnya .
Pada periode pra kemerdekaan bangsa Indonesia banyak pengarang karya sastra yang mengambil tema kawin paksa  . Adanya pertentangan golongan muda dan golongan tua ,dimana golongan tua yang masih mempertahankan adat sedangkan golongan muda yang tidak selamanya adat itu benar dan membawa kebaikan tetapi cenderung memperlambat kemajuan zaman . Tetapi jarak satu langkah periode pra kemerdekaan , para pengarang mulai menulis karya sastra yang mengangkat tema lebih beragam misalnya dengan mengangkat tema persoalan wanita atau emansipasi wanita . Bentuk dari karya sastra lebih luas dan sudah tidak terikat dalam periode yang mengangkat tema kawin paksa dan pengarangnya sudah bebas mengeluarkan ide dan gagasan dalam penyampaian karya sastra .
Dalam perkembangan teori sastra mengikuti kecenderungan dalam paradigma politis dan sosiologis . Misalnya di dalam roman yang saya baca dan mencoba untuk saya telaah dalam stilistika kesusastraan Indonesia . “Belenggu” salah satu roman yang menggunakan teori feminisme ,pengarang karya sastra roman ini adalah Armyn Pane . Dimana Armyn  Pane mengungkapkan gagasannya di dalam menciptakan seni ,ia tidak semata-mata mengabdi pada keindahan tetapi keindahan itu sendiri harus bermanfaat bagi masyarakat . Selaras dengan pernyaatannya dalam paham seni ia lebih mengutamakan isi daripada bentuk .makna dari paham seni disebut juga dengan asas seni . Dimana paham ini adalah aturan-aturan untuk menciptakan seni , yang terkenal dengan sebutan seni bertenden dan seni untuk seni . Armyn Pane menciptakan roman “Belenggu” bahasa yang diciptakan terkadang masih membingungkan pembaca mungkin ada pergeseran bahasa Melayu ke bahasa Indonesia . Yang menarik dalam roman ini adalah suasana yang diciptakan romantikus dimana pembaca dibawa oleh suasana pengembara dalam jiwa dan tanpa menggunakan logika kejadian .
Tono seorang dokter yang menikahi seorang wanita cantik  dan berintelektual bernama Tini . Alasan mereka menikah bukan karena cinta melainkan ketertarikan dari profesi dan intelektual , seperti yang saya sebutkan diatas . Dimana mereka tidak saling mencintai , dan jarang bertukar pendapat setiap ada masalah , akhirnya Tono memutuskan untuk menyimpang dari rumah tangganya yaitu bercumbu dengan Yah dimana Tono  lebih nyaman dengannya . Dalam roman “Belenggu”  pengarang mengungkapkan bagaimana keadaan feminis dengan masalah perkembangan zaman , dimana belenggu seorang wanita yang dihadapkan pada masalah dimana ia harus memperjuangkan hak-nya sebagai seorang istri . Banyak para sastrawan yang berpendapat bahwa Armyn Pane adalah seorang yang romantis dalam penyampaian karyanya .Dibawah  ini merupakan pendapat dari seorang sastrawan yang mengapresiasi karya dari Armyn Pane , dengan adanya roman “Belenggu” :
“Kaum kolot tentu akan gempar cemeti realisme yang dilecut-lecut dengan sangat beraninya oleh pengarang-kaum muda,kaum baru ,tentu akan bersorak membacanya ,oleh keinsafan keberanian pengarang memancarkan cahaya pada hal-hal yang tak patut dan tak layak …Memang ,pena saudara Armyn  Pane disini terang amat “tidak kenal kasihan” terhadap hal-hal yang buruk ,dan oleh karena itu nyatalah ,bahwa  pena saudara itu pena Pudjangga sejati ,yang hendak berjuang  yang hendak menghindarkan hal- hal buruk untuk membangunkan semangat baik dan jernih dalam sanubari masyarakat Indonesia ..Cara menggambarkan watak seseorang saya anggap cukup dan cara membawakan perkataan dan menyajikan isinya     ,intelligent ,karena menganggap pembaca intelligent juga ,dan memaksa pembacanya berpikir dalam-dalam. Belenggu ini keuntungan mahabesar untuk literature kita ,untuk pembangunan semangat baru Indonesia.”(M.R. Djaroh,”Pudjangga Baru”.Des.1940)

Diposkan oleh Heltyta Imadina di 23.06







Sekadar Mencatat Manusia dan Kemanusiaan
Sunday, October 05, 2008
Esai: Belenggu Manusia
-- Wildan Nugraha

/1/

MEMBACA Belenggu barangkali adalah membaca kemungkinan sebuah sisi manusia.Manusia dengan belenggunya sendiri.Setidaknya, dalam perspektif Armijn Pane yang mendedah keterbelengguan Tono, Tini, dan Yah, tokoh-tokoh utamanya dalam novel Belenggu.

Diterbitkan pertama kali oleh Dian Rakyat pada tahun 1940, novel karya sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1908 ini, merupakan karya yang kontroversial pada masanya. Banyak komentar bermunculan menanggapi karya Armijn ini, baik yang mencela atau memuji. Di antaranya dalam Pujangga Baru, Desember 1940, Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyebutnya sebagai "romantika yang gelap-gulita", bahkan "yang pesimistis" dan "yang melemahkan semangat". Ditilik dari sisi pragmatik, yang mengharapkan kepraktisan aspek didaktik sebuah karya sastra terhadap pembacanya, Belenggu mungkin memang patut menggegerkan kalangan kritikus kala itu.

Hal itu pula yang menyebabkan naskah Belenggu ditolak Balai Pustaka. Seperti diketahui, kriteria naskah Balai Pustaka saat itu adalah harus tidak melanggar ketertiban, budi pekerti, dan tidak berpolitik yang bertentangan dengan Pemerintah Hindia Belanda, di samping harus mengandung pendidikan kepada masyarakat. Sementara di dalam Belenggu, gambaran kaum intelektual seperti Kartono, Sumartini, dan Yah dianggap tidak memberi "contoh" kepada masyarakat, dianggap sama sekali melanggar ketertiban dan budi pekerti masyarakat. Di samping itu, dirasakan tidak layak bahwa kaum intelek hidup tidak rukun, dokter (Kartono) yang mempunyai simpanan (dan kumpul kebo), lebih-lebih Yah (Siti Rohayah, Ny.Eni, Siti Hayati) adalah perempuan tidak baik (pelacur).Hal ini dianggap memalukan dan dipastikan menimbulkan "keguncangan" kepercayaan masyarakat kepada kaum intelek (Pradopo, 1995).

/2/

Rumah tangga Tono dan Tini digambarkan penuh belenggu. Mereka saling kecewa antara satu dengan yang lain. Penuh kontradiksi; di satu sisi mereka saling membutuhkan, tapi di sisi lain melulu tidak saling puas. Dari informasi yang serba sedikit dan rancak terserak mengenai latar belakang para tokoh cerita di dalam novel ini, pembaca, lewat pemamahan yang tuntas, dapat merunut dengan perlahan dunia kecil dan aspek kejiwaan Tono, Tini, dan Yah.Semacam kunci yang diberikan Armijn guna memahami alur dan logika cerita Belenggu adalah motivasi Tono menikahi Tini.

Seperti pernah diulas kritikus Rachmat Djoko Pradopo (1995), Tono memperistri Tini "hanya" karena merasa tertantang naluri kelelakiannya. Semakin populer dan "garang" seorang gadis, makin sukalah ia. Dan hal tersebut didapatkan Tono pada sosok Tini, yang merupakan gadis ratu pesta, menjadi bunga di kotanya.Jadilah Tono mengawini Tini tidak didasari cinta yang murni, tapi hanya untuk kesukaannya menundukkan seorang gadis flire-type.

Sebaliknya Tini, ia mau diperistri Tono juga bukan bersebab cinta.Hatinya sudah sedingin es sejak ditinggalkan Hartono kekasihnya dulu.Ia hanya ingin menjadi "teman" saja. Ia tidak dapat menaruh cinta kepada Tono. Tini mau diperistri Tono sebab ia seorang dokter, memberi status yang tinggi kepadanya sebagai "Nyonya dokter".

Di sinilah tragik cerita yang rumit itu.Rumit bersebab pasangan suami istri ini terus saja mengombang-ambingkan diri mereka sendiri, tidak saling terbuka guna menuai pelbagai harapan masing-masing. Tini sibuk dengan gagasan-gagasannya soal perempuan yang merdeka di zaman yang baru (hal ini juga yang agaknya membikin ia kelu mengutarakan kecemburuannya kepada Tono atas kesibukan pekerjaan dan lingkungan pergaulannya). Sementara Tono pun sangat sibuk dengan pekerjaannya, meski ternyata ia tidak berhenti memendam angan-angan tentang rumah, dengan harapan-harapannya akan istri yang "berlutut, membukakan tali sepatu" atau "menunggu suami dengan senyum yang murah di rumah".

Pembangunan cerita dilakukan Armijn dengan cukup dramatis.Hampir di sepanjang kisah, Armijn memperlihatkan konflik dalam diri tokoh-tokohnya. Melalui gambar-gambar scenik yang filmis (yang kerap melompat berpindah ruang dan waktu) dan lewat teknik bercerita berbentuk monolog interieur, Armijn mendedah betul detil benak tokoh-tokohnya dengan begitu telanjang dan sugestif. Sehingga, seolah Armijn hendak menyarankan pembaca agar ikut berpikir guna mengenali betul manusia-manusia yang tengah dibacanya, sehingga belenggu yang memang ada itu terindentifikasi dengan saksama.

Juga Armijn dengan cerdas memunculkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang bertaburan dalam benak Tono secara berulang-ulang.Bahkan juga lewat permenungan di benak Tini dan Yah. Seperti pertanyaan: apa perlunya hidup, apa yang kita ketahui, apa perlunya cinta, dsb. Dan oleh Armijn, daftar pertanyaan yang mengindikasikan kegelisahan jiwa (manusia-manusia yang dihadapkan pada zaman yang mulai beranjak melaju dengan cepat sebagai era modern-kontemporer) itu, ternyata bukan merupakan sesuatu yang mudah dicari jawabannya.Tidak serta merta gampang ditemukan pemuasnya yang meredakan, menentramkan.

Seperti Tono dan Yah yang bertemu sebagai kawan lama dan kemudian saling menambatkan hati, ternyata tidak menjadikan kedua tokoh ini lantas merasakan kebahagiaan sejati. Terlebih bagi Tono: belenggu itu tidak kunjung terlepas. Betapa pun sebenarnya ia sudah sampai berpikir: "...begitulah kita seperti dibelenggu oleh angan-angan...oleh angan-angannya sendiri..."

/3/

Sejalan dengan modernisme dan gagasan kebangsaan, ide feminisme mulai banyak dibaca dan dikaji oleh tokoh-tokoh cendekia pada masa itu. Menarik yang dikemukakan oleh Rachmat Djoko Pradopo (1995) mengenai Belenggu.Belenggu, demikian kata Pradopo, hendak mengoreksi keinginan kaum perempuan yang ingin "bebas seratus persen".

Dalam Belenggu, perempuan sejati yang disiratkan Armijn melalui Kartono adalah perempuan yang tahu hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Perempuan yang tetap menyayangi suaminya, mencintainya dengan tidak merasa sebagai budak.Yang diinginkan Kartono adalah perempuan seperti Yah.Oleh karena itu, Tono menjadi tentram di rumah Yah, karena Yah menyambutnya dengan penuh cinta dan kasih sayang, melebihi istri sendiri.Yah mengerti kesukaan "suami", menanggalkan baju dokternya, melepas sepatunya, diganti dengan sandal rumah.

Jelas di sini bahwa ketidaksalingmengertianlah yang menerbitkan belenggu itu, menjadi perkara utama yang mendorong tokoh-tokoh tersebut menemukan dirinya sebagai karakter yang problematis.

/4/

Ulasan H.B. Jassin (1940) atas Belenggu agaknya penting dikemukakan.Ia mempertanyakan gambaran para tokoh Armijn dalam Belenggu yang ditampilkan begitu dasyat. Benarkah mereka serendah itu, serapuh itu jiwanya, sejatuh itu moralnya?Tentu masyarakat tidak suka melihat yang demikian itu.Namun, kata Jassin, pembaca harus memandang diri sendiri, benarkah seperti yang dilukiskan itu. Menurut Jassin, pengarang membuat manusia kenal kembali akan dirinya, agar mau mengkritik dirinya sendiri atau zelfcorectie. Itulah yang mau dikemukakan pengarang.Manusia supaya mengenal dirinya kembali untuk memperbaiki dirinya.

Akan halnya pungkasan cerita yang dibuat menggantung baik bagi Tono, Tini, maupun Yah (tidak ada tempat untuk mereka pegang, semuanya terlepas, masing-masing mencari), hal ini menurut Jassin merupakan gambaran orang di zaman pancaroba.Atau seperti menurut Umar Junus (1981), Tini dan Tono hidup dalam ambiguitas, terperangkap antara sikap yang individualistik dan pandangan sosial.Mereka berada dalam satu dilema disebabkan oleh sikap yang ambigu.Mereka sadar keduanya saling bertentangan, tetapi saling melengkapi.

Barangkali ada benarnya STA menyebut Belenggu sebagai "romantika gelap-gulita", sebab membaca Belenggu mungkin dapat melemparkan pembaca pada kondisi kekosongan jiwa yang labil.Namun, realitas Tono, Tini, dan Yah itu memang beranjak dari realitas faktual, seperti kata Jassin, betapa pun hendak masyarakat mengelakkannya. Tidak berlaku hanya pada masa-masa itu saja, saya kira, bersepakat dengan sastrawan Radhar Panca Dahana (2008), saat mengatakan "roman Belenggu menyodorkan realitas manusia Indonesia yang sebenarnya dibelenggu oleh dirinya sendiri...kita masih mudah menyaksikannya di sekitar kita...jiwa yang sempit, pikiran yang kerdil, imajinasi yang pandak", hingga zaman berlari kencang seperti sekarang ini, belenggu "Tono-Tini-Yah" itu ternyata masih ada, belum lerai juga bila bukan kian sengit dan kuat keberadaannya, sebab makin tampak samar dan wajar saja semua belenggu itu kini kita dapati. Wallahu alam.

* Wildan Nugraha, lahir di Bandung, 12 September 1982. Alumnus Universitas Padjadjaran, Bandung, bergiat di Forum Lingkar Pena Bandung. Tulisan-tulisannya berupa cerpen, esai, dan tinjauan buku dimuat media nasional dan daerah.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Oktober 2008







Sabtu, 01 Oktober 2011
TOKOH UTAMA WANITA DALAM NOVEL "BELENGGU" KARYA ARMIJN PANE DARI PERSPEKTIF FEMINISME (KAJIAN KRITIK FEMINISME)
Oleh:
Alfian Rokhmansyah


Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis, yang mengandung keindahan. Karya sastra diciptakan pengarang untuk dinikmati, dipahami, dihanyati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat pembacanya. Pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat dan lingkungannya, ia tak bisa begitu saja melepaskan diri dari masyarakat lingkungannya.

Karya sastra, seperti diakui banyak orang, merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dan menolak segala sesuatu yang serba “rutinitas” dengan memberikan kebebasan kepada pengarang untuk menuangkan kreativitas imajinasinya. Hal ini menyebabkan karya sastra menjadi lain, tidak lazim, namun juga kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran dan sekaligus menyebabkan pembaca menjadi “terbata-bata” untuk berkomunikasi dengannya. Berawal dari inilah kemudian muncul berbagai teori untuk mengkaji karya sastra, termasuk karya sastra novel.

Novel merupakan salah satu jenis karya sastra prosa yang mengungkapkan sesuatu secara luas.Berbagai kejadian di dalam kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita merupakan gejala kejiwaan.Novel merupakan sebuah “struktur organisme” yang kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung.Hal inilah, antara lain, yang menyebabkan sulitnya pembaca menafsirkan sebuah novel, dan untuk keperluan tersebut dibutuhkan suatu upaya untuk menjelaskannya disertai bukti-bukti hasil kerja kajian yang dihasilkan.

Manfaat yang akan terasa dari hasil kajian itu adalah apabila pembaca (segera) membaca ulang karya sastra yang dikajinya. Dengan cara ini akan dirasakan adanya pembedaan: ditemukan sesuatu yang baru, yang terdapat dalam karya sastra itu sebagai akibat kekompleksitasan karya yang bersangkutan sehingga sesuatu yang dihadapi baru dapat ditentukan. Dengan demikian, pembaca akan lebih menikmati dan memahami cerita, tema, pesan-pesan, tokoh, gaya bahasa, dan hal-hal lain yang diungkapkan dalam karya yang dikaji (Nurgiyantoro, 1995: 32).

Karya yang dijadikan objek penelitian ini adalah novel Belenggu karya Amijn Pane karena dalam novel ini penggambaran tokoh-tokoh wanita hampir sama dengan tokoh dalam kehidupan nyata. Tokoh wanita dalam novel ini digambarkan sebagai wanita yang ingin menjadi dirinya sendiri dan ingin menentukan masa depannya sendiri.

Armijn Pane telah menghasilkan beberapa karya, antara lain: Gamelan Djiwa (Puisi), bagian Bahasa Djawa, Kebudayaan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (tahun 1960); Djiwa Berdjiwa (Puisi), diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta (tahun 1939); Belenggu (Novel), diterbitkan oleh Dian Rakyat. Jakarta (tahun 1991); Djinak-Djinak Merpati (Kumpulan Cerpen), diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta (tahun 1940); Kisah Antara Manusia (Kumpulan Cerpen), diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta, (tahun 1953); Antara Bumi dan Langit (Drama), dalam Pedoman, 27 Februari 1951. Atas Jasa-jasanya dalam bidang seni (sastra), Armijn Pane telah diberi penghargaan Anugerah Seni dari pemerintah tahun 1969.

Dua tokoh utama wanita dalam novel Belenggu mempunyai beberapa kesamaan sifat dan perilaku dengan sifat dan perilaku wanita dalam kehidupan nyata.Satu menginginkan hidup bebas tanpa ada kekangan dan yang satu menginginkan hidup lebih baik dengan orang yang dicintai, serta kedua tokoh tersebut berkeinginan untuk menentukan hidup mereka sendiri.Sumartini adalah seorang wanita modern yang mempunyai masa lalu yang kelam karena bebas bergaul.Dia selalu merana kesepian karena kesibukan suaminya yang tak kenal waktu dalam mengobati orang sakit sehingga melupakan dan membiarkannya dirumah seorang diri.Sedangkan Siti Rohayah adalah seorang wanita yang harus menjalankan kawin paksa.Dia merasa frustasi, sehingga terjerumus kelembah kenistaan.Dia teman dokter Sukartono, suami Sumartini, yang sebenarnya kekasihnya waktu muda.

Novel Belenggu mempunyai daya tarik tersendiri karena menampilkan permasalahan perempuan yang berkaitan dengan pandangan masyarakat pada tahun 1940-an yang secara tidak langsung merugikan kaum perempuan. Padangan tersebut berasal dari paham masyarakat yang menganggap kekuasaan sepenuhnya berada di tangan laki-laki.Topik mengenai perempuan, terutama yang membahas masalah gender beserta bias-biasnya adalah hal yang tetap menarik untuk dibicarakan sampai saat ini.Kalangan perempuan yang telah mengenyam pendidikan modern merasa perlu dan berhak untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya.Sedangkan adat dan tradisi yang telah mengakar menganggap pemikiran ini bisa menghancurkan tatanan yang selama ini telah dinilai berjalan baik. Novel Belenggu ditulis di era 1940-an ketika arus pemikiran tidak progresif seperti masa kini, mampu mengungkap tema tersebut hingga menjadi sebuah pendekatan di antara kalangan sastrawan sendiri.

Secara politik, feminisme, baik sebagai ide maupun aksi politik, akan memiliki pengaruh kepada dua jenis kelamin (gender) yang ada, yakni di satu sisi akan memberikan banyak keuntungan kepada perempuan dan di sisi yang lain, akan mensyaratkan laki-laki untuk menyerahkan berbagai ‘hak-hak istimewa’ yang mereka miliki selama ini. Dengan demikian, laki-laki yang menyatakan dirinya sebagai feminis akan menimbulkan kecurigaan dari laki-laki dan perempuan pada umumnya. Ada kata lain yang digunakan yakni meninis (meninist) atau yang kelihatannya lebih moderat adalah laki-laki profeminis.

Dalam perkembangannya wanita tidak lagi dihadirkan sebagai korban kekuasaan kaum patriarkhi, tetapi dihadirkan sebagai wanita yang berhak dan bebas menentukan nasib atau masa depannya (seperti dalam Belenggu).Tini yang diharapkan Tono hadir sebagai ibu rumah tangga, ternyata gagal karena lebih memilih sebagai wanita karir, tidak mau dikalahkan kaum pria, dan tidak mau tergantung pada pria. Pada novel tersebut, gambaran wanita tidak lagi pesimis, yang digambarkan adalah wanita aktif, dinamis, optimis, sadar akan kondisi sosialnya, serta berani berjuang mendapat persamaan hak dengan kaum pria.

Permasalahan yang dihadapi oleh wanita terutama yang menyangkut emansipasi wanita ini merupakan kenyataan sosial yang dihadapi oleh wanita tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Dari kenyataan sosial yang dihadapi manusia khususnya wanita memberikan ilham kepada sastrawan untuk menuangkannya ke dalam karya sastra yang akan dibuatnya. Karya sastra ini merupakan buah pikiran seorang pengarang yang bersumber dari pengalaman hidupnya sendiri maupun orang lain.

Wanita Indonesia sudah sejak lama menjadi pusat perhatian para pujangga.Bahkan, tradisi penulisan novel di dalam dunia sastra Indonesia diawali dengan tokoh utama wanita melalui novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Novel tersebut kemudian disusul oleh sebuah novel yang judulnya berupa nama wanita yaitu Sitti Nurbaya oleh Marah Rusli. Novel ini dalam perkembangan selanjutnya seolah-olah menjadi mitos perjuangan wanita Indonesia.Demikian juga novel Salah Asuhan, Salah Pilih, Layar Terkembang, dan Belenggu (Suaka, 2003).

Dari beberapa fiksi yang memuat masalah emansipasi, Belenggu merupakan salah satu novel yang cukup menarik untuk diteliti.Hal ini dikarenakan novel ini merupakan novel yang pernah ditolak oleh Balai Pustaka. Kemudian adanya asumsi dalam masyarakat pada masa itu bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi tidak akan mengalami kegagalan dalam membina rumah tangga. Akan tetapi, Armijn membalikkan asumsi tersebut dengan menceritakan apa yang terjadi pada pasangan dokter Sukartono dan Sumartini, yang keharmonisan rumah tangga mereka akhirnya kandas. Pandangan Armijn yang meletakkan perempuan mampu tampil di sektor publik dan tidak hanya bekerja di lingkungan rumah tangga saja.Pandangan tersebut sangat bertentangan dengan konvensi masyarakat yang menempatkan posisi perempuan sebagai orang yang lemah dan tidak pantas menempati posisi sosial di atas laki-laki.

Berdasarkan hal di atas, dalam penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti sifat dan perilaku tokoh-tokoh utama wanita dari perspektif feminisme kemudian dihubungkan dengan realita kehidupan di alam nyata melalui pendekatan mimetik yang sebelumnya dianalisis dengan pendekatan objektif.









Rabu, 06 Maret 2013

Tono sebagai Tokoh Male Feminis dan Kontra Male Feminis dalam Novel Belenggu Karya Amijn Pane
Oleh: Septian Cahyo P.

Teeuw berpendapat, Belenggu jauh lebih tinggi nilainya daripada kebanyakan penerbitan Balai Pustaka, tetapi justru Balai Pustaka merasa perlu menolaknya dengan alasan yang lemah.Balai Pustaka menolak novel ini untuk diterbitkan karena bicara masalah perselingkuhan. Tema perselingkuhan kala itu masih menjadi tema yang tabu bagi masyarakat Indonesia dan dianggap membuka aib bangsa Indonesia sendiri.

Novel ini memiliki nilai kebaruan yang dapat dilihat dari segi tema, gaya penceritaan pengarang, maupun bentuk kalimatnya. Dari segi tema novel ini tidak lagi mengangkat masalah Timur dan Barat, perkawinan adat, ataupun pertentangan kaum tua dan muda.Armijn mengisahkan konflik batin yang dialami tokoh-tokohnya. Dilihat dari gaya penceritaannya novel ini berbeda dari novel-novel terbitan Balai Pustaka sebelumnya. Armijn Pane adalah yang pertama menampilkan arus gaya kesadaran. Sehingga dibutuhkan kesadaran dan perhatian yang tinggi saat membaca novel ini.Armijn juga menampilkan kebaruan dalam hal penulisan kalimat pada novelnya ini.Kalimat-kalimat dalam Belenggu pendek dan lugas.

Intisari dari novel ini adalah konflik batin antara tokoh dokter Sukartono, Tini, dan Rohayah.Tono (suami Tini) yang sibuk sebagai dokter akhirnya melalaikan tugasnya sebagai seorang suami.Sedangkan Tini yang menyukai kegiatan-kegiatan sosial sibuk pula dengan kegiatannya sendiri.Ia melupakan kedudukannya sebagai seorang istri dokter. Rumah tangga mereka terbelah oleh egoisme masing-masing.Tono yang merasa kurang mendapat perhatian dari istrinya bertemu Rohayah salah seorang pasiennya, dan akhirnya mereka menjalin hubungan perselingkuhan.Rohayah begitu lembut dan penyayang membuat Tono kerasan dengannya.Singkat cerita, Tono dan Tini akhirnya bercerai.Tono yang berharap dapat menikah dengan Rohayah tidak dapat mewujudkan keinginannya, karena Rohayah lebih memilih meninggalkan Tono.

Di akhir cerita setiap tokoh menempuh jalan hidupnya masing-masing.Tono meneruskan sekolah kedokterannya, Tini pergi ke Semarang menjadi seorang aktivis sosial, sedangkan Rohayah pergi ke Nieuw Caledonie, meneruskan profesinya sebagai pekerja seks komersial.

Watak tokoh Tono digambarkan dalam novel ini yaitu dermawan, menyayangi anak-anak, pekerja keras bahkan sampai melupakan istrinya, penyayang, romantis. Tono adalah seorang dokter yang rindu akan kasih sayang, disebabkan istrinya Tini yang sangat kurang perhatian pada dirinya begitu pula Tono yang jarang memperdulikan istrinya. Akibat dari kerinduan akan kasih sayang itu, akhirnya Tono berselingkuh dengan Rohayah, bahkan berniat menceraikan istrinya. Rohayah, seorang pekerja seks komersial, memiliki sifat yang amat penyayang dan lembut, membuat Tono begitu menghargainya.

Sikap Tono dalam memperlakukan dua orang wanita ini dapat dikatakan dua sifat yang bertolak belakang. Pertama, ia bersikap kontra male feminis terhadap Tini dan kedua, ia bersikap male feminis kepada Rohayah. Kedua sikap tersebut tergambar dengan jelas melalui watak Tono, meski tidak terjadi secara mutlak. Maksudnya, tidak sepenuhnya Tono bersikap kontra male feminis terhadap Tini, terkadang ia juga menunjukkan sikap male feminis-nya kepada wanita itu, begitu pula sikapnya terhadap Rohayah.

Istilah male feminis bagi kalangan feminis di Indonesia masih sangat baru dan belum terdengar akrab di telinga. Persoalannya jelas, feminis di Indonesia dapat dikatakan baru berjalan kurang lebih 15 tahun ini, tepatnya dimulai pada pertengahan tahun 1980-an. Itupun baru berupa pergerakan feminisme dan belum sampai pada taraf studi yang intensif yang berupa pengembangan wacana yang kritis dan analisis  sifatnya, apalagi masalah feminis laki-laki.[1][1]

Kaum laki-laki yang ikut berjuang melawan penindasan terhadap perempuan lebih tepat dikatakan sebagai kelompok pro-feminis (male feminis). Sebuah bentuk dekonstruksi, ketika istilah male feminis, berarti akan ada paradoksal yang menyatakan kebalikannya dalam hal ini bisa disebut kontra male feminis. Hal ini merupakan bentuk dari oposisi biner.Kontra male feminis merupakan kebalikan dari male feminis.Jika male feminis mempunyai sifat menghargai terhadap perempuan, maka kontra male feminis adalah mempunyai sifat menentang perempuan.

Tono menunjukkan sikap kontramale feminis-nya terhadap Tini.Hal ini dapat dibuktikan dari sikap Tono yang berselingkuh dengan Rohayah.Apapun alasannya perselingkuhan adalah pengkhianatan.Perselingkuhan itu menunjukkan sikap Tono yang tidak menghargai perempuan. Bukti lain yang menunjukkan sikap kontra male feminis Tono yaitu ketika ia kembali tidak menghargai Tini sebagai istrinya. Ketika Tini sedang bermain piano di suatu pesta, Tono malah pergi meninggalkannya untuk menemui Rohayah.Ketika itu, Tono hendak langsung pergi namun diingatkan oleh temannya yang bernama Mardani untuk berpamitan dengan Tini terlebih dahulu. Bila tidak diingatkan ia pasti akan langsung pergi. Tono berpamitan kepada istrinya hanya dengan mengatakan, “Aku pergi...” (Belenggu, hlm. 88).

Meski begitu, Tono juga menunjukkan sikap male feminis-nya terhadap Tini.Hal ini dapat dilihat dari sikap Tono yang memberikan kebebasan bagi Tini untuk bergiat dalam kegiatan sosial.Ia menghargai sikap sosialis Tini.

Selanjutnya mengenai sikap male feminis Tono terhadap Rohayah. Sikap tersebut dapat dilihat melalui kutipan berikut:
Dia (Tono) mengangguk lalu pergi.Tetapi dia merasa kasihan juga meninggalkan Yah seorang diri saja” (Belenggu, hlm. 88).

Dalam hatinya Tono begitu menyayangi Rohayah, kutipan di atas hanyalah salah satu bukti nyata kasih sayang Tono kepadanya.Ia tidak mampu terlalu lama meninggalkan Rohayah. Bahkan ketika Tini pergi ke luar kota ia sering menginap di rumah Yah. Selain sikap kasih sayangnya kepada Tini, ia juga menghormati Tini karena kecerdasannya. Tini mengajarkan banyak hal kepada Tono.Dengan seorang bekas pelacur, ternyata dokter Tono mampu ditandingi perkataan dan pemikirannya.Kutipan berikut menunjukkan bahwa Rohayah adalah perempuan yang cerdas, karena rajin membaca buku.
“Tuanku banyak bukunya, dia suka membaca.Aku coba membaca, karena kulihat dia tenang kalau membaca.Mulanya tiada lut, kemudian lambat laun hati jiwaku terpendam oleh bacaan.”(Belenggu, hlm. 50).

Sikap kasih sayang dan penghormatan kepada Yah ini yang menjadikan Tono seorang tokoh male feminis.Meski begitu, ternyata Tono juga menunjukkan sikap kontra male feminis-nya terhadap Rohayah. Sikap ini ditunjukkan melalui kutipan berikut:
“Tono menghampirinya.Jarinya menunjuk muka Yah. Katanya dengan keras: “Sipatmu tidak dapat berubah, kerbau suka juga kepada kubangan. Dalam lumpur tempatmu, kembalilah engkau kesana.”

Dapat ditarik kesimpulan bahwa Tono memiliki dua sifat feminis yang saling bertentangan. Mungkin ini adalah salah satu alasan Jassin yang berpendapat “orang-orang yang dilukiskan dalam roman ini hampir-hampir menyerupai karikatur, karena terlampau dilebih-lebihkan; boleh jadi dengan sengaja, boleh jadi juga tidak...”Penggambaran watak tokoh Tono cenderung tidak tegas dan tampak dibuat-buat.






Diposkan oleh Septian Cahyo Putro di 18.50



[1][1] Veri Dani Wardani, Male Feminis danKontra Male Feminis dalam Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Skripsi, (Universitas Negeri Semarang, 2005) Hlm. 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar