PUSARA
Berawal
dari berjabat tangan,perkenalan itu secara perlahan menyulam pertemanan dan
akhirnya terjalin sebuah persahabatan. Memberi kesan yang tak mungkin
terlupakan untuk Fiqhi, Nina, dan Nida. Senda gurau yang menghiasi persahabatan
mereka tak luput dari kesalah pahaman, terkadang keseharian yang penuh canda
tawa dilintasi dengan perbedaan pendapat yang tak jarang menjadi batasan jarak
untuk tidak saling menyapa, meskipun
pada akhirnya kebersamaan itu kembali terjalin dengan adanya keceriaan yang
merekahkan senyuman bahagia diantara mereka. Kurang dari tiga tahun menyatukan
diri sebagai pelajar yang berseragam putih abu-abu disekolah menengah kejuruan
swasta yang berada disebuah kota kecil, kebersamaan Fiqhi, Nida dan Nina secara
perlahan mulai terenggut.Bermula ketika tugas Praktek Kerja Industri (PRAKERIN)
yang mengharuskan mereka untuk berpisah satu sama lain karena tempat yang
berbeda dan berjauhan selama tiga bulan berturut-turut. Fiqhi praktek disebuah
perusahaan makanan terkemuka, Nina praktek disebuah butik pakaian diluar kota,
dan Nida praktek disebuah mini market dikotanya. Keinginan untuk berkumpul
bersama senantiasa menyeruak dalam kalbu mereka dan dapat sedikit terobati
ketika alat komunikasi itu mendekatkan mereka dalam berkata meskipun tanpa
adanya sandaran raga. Tiga bulan yang seakan bergulir begitu lambat akhirnya
tiba pada suatu saat ketika mereka menyelesaikan tugas PRAKERIN dan kembali
memduduki bangku sekolah yang telah lama tak mereka singgahi. Berbagi cerita
tentang pengalaman selama PRAKERIN menjadi sebuah agenda yang tak mereka lewatkan pada saat kembali bertatap
muka, mulai dari Fiqhi yang bertugas untuk mengantar barang dari satu tempat ke
tempat lain, Nina yang bertugas menata pakaian, dan Nida yang menjadi seorang
kasir mini market, adalah pengalaman dan pembelajaran hidup yang tak akan
pernah mereka lupakan. Mereka merasakan bagaimana sulitnya mendapatkan sesuap
nasi yang harus melewati perjuangan untuk mendapatkannya.Kurang dari dua bulan
mereka kembali belajar efektif didalam kelas,Ninagadis periang ituterserang
penyakit.Awalnya yang terlintas didalam benak Nida mungkin ia hanya kelelahan,
tapi semakin bertambahnya hari kesehatannya semakin menurun dan semakin jarang
pula ia masuk sekolah. Terakhir ia masuk sekolah pada saat ujian praktek mata
pelajaran olahraga, badanya mengurus dan wajahnya terlihat sangat pucat.Dalam perjalanan
menuju lapangan yang menjadi tempat praktek lari dilaksanakan, Nina tampak murung dan berjalan sendirian
seolah menjaga jarak tanpa berharap ada yang menemani.Setibanya disana sembari
menunggu giliran ia duduk bersama Fiqhi,sahabat yang menjadi kekasihnya itu dan
biasadipanggilnya dengan sebutan Bintang.Tanpa bisa dilarang ia memaksa untuk
mengikuti pelaksanaan praktek lari, Nida dan Nina mendapat giliran bersamaan
karena jarak absensi yang berdekatan, dengan suara yang lemas dan terdengar
samar, ia mengingatkan Nida untuk tidak berlari dengan cepat karena Nina tak
akan mampu melakukannya dengan tubuh yang seakan tak berdaya.
“Nida larinya jangan terlalu cepat ya,
aku gak bisa badanku lemas?” Tanya Nina dengan suaranya yang terdengar sangat
pelan dan serak.
“Iya, tapi akan lebih baik kalau kamu
istirahat saja, Pak Guru juga pasti akan memaklumi keadaanmu Nin” jawab Nida
dengan nada menasihati.
“Tidak, meskipun aku sakit tapi aku
kuat Nid, percayalah aku akan baik-baik saja” Nina meyakinkan Nida untuk
mengizinkannya mengikuti praktek lari.
“Tapi Nin, kalau sakit kamu kambuh lagi
bagaimana, kamu jangan khawatir Pak Guru pasti akan tetap memberikan nilai
meskipun kamu tidak mengikuti praktek lari, beliau akan memberikan tugas yang
bisa kamu kerjakan dirumah Nin?” tanya Nida yang mencemaskan keadaan sahabatnya
itu.
“Tolong Nid biarkan aku ikut praktek
lari, aku mohon jangan halangi aku seperti Fiqhi yang juga melarangku untuk
mengikuti praktek lari ini” Nina merintih kepada Nida untuk mendukungnya
mengikuti praktek lari.
“Nin, Fiqhi bukan semata-mata melarang
apa yang ingin kamu lakukan tapi ia menghawatirkan keadaanmu, karena ia sangat
menyayangimu” seakan tak mau menyerah Nida menasihati Nina.
“Iya Nida, tapi untuk sekali ini saja
kalian turuti kemauanku, aku hanya ingin seperti mereka yang bisa mengikuti
ujian praktek meskipun aku sakit” Nina memohon-mohon dengan memegang tangan
Nida.
“Ya sudah, sekarang aku hanya bisa
mendoakanmu Nin supaya kamu kuat untuk mengikuti praktek lari ini dan tidak
menjadikan penyakit kamu kambuh lagi” Nida menuruti kemauan Nina meski dalam
kekhawatirannya.
“Terimakasih Nid” Nina dan Nida
keduanya berpelukan erat.
“Iya Nina, sahabatku yang nakal dan gak
mau dinasehati” jawab Nida dengan suasana sedikit bercanda.
“Ih kamu ini Nid, ada-ada saja” Nina
tergelak tawa dengan sedikit mencubit tangan Nida.
“Aduh, sakit Nina” Nida mengeluh dengan
mencolek pinggang Nina sambil tertawa.
“Geli tau” Nina dan Nida tertawa
bersama seakan tak ada beban, dan Nina pun seakan terbebas sejenak dari rasa
sakit yang ia derita.
Berselang beberapa saat satu demi satu
peserta yang mendapat giliran lebih dahulu mulai menyelesaikan ujian praktek
lari dengan waktu yang telah ditentukan termasuk Fiqhi didalamnya. Pak guru
yang mengawasi pelaksanaan ujian mencatat waktu dan jumlah putaran yang mampu
dicapai oleh peserta, dan mulai mempersiapkan kembali peserta yang akan
mengikuti praktek lari berikutnya termasuk Nina dan Nida. Tak lama kemudian ketikapengaturan
wakti dijalankan dan pluit dalam genggaman pengawas dibunyikan Nina dan Nida berlari
sangat pelan seperti sedang berjalan dengan tangan yang saling berpegangan,
sebisa mungkin Nida terus berusaha menasehati Nina yang dikhawatirkan
kesehatannya yang sedang terganggu, supaya mengurungkan niatnya untuk mengikuti
praktek lari mengingat kesehatannya yang belum pulih dan jika dipaksakan bisa
mengganggu kesehatan tubuhnya yang sedang dalam keadaan rentan.Kurang dari lima
menit merekaberjalan, ia tersenggol salah
satu teman laki-laki yang berlari dengan kecepatan sedang dan seakan sengaja
menjahili Nina dengan sedikit senyuman yang terlintas dari raut wajahnya dengan
postur tubuh yang tinggi besar,seketika itu pula ia terjatuh dengan posisi
jongkok dengan tangan mengenai tanah, sigap Nidamengulurkan tangan untuk
membantu sahabatnya itu berdiri, Ninamemperlihatkan tangannya yang lecet dan
sedikit berdarah, secara perlahan ia mulai berdiri tertatih dengan tangannya
yang gemetar. Nida melambaikan tangannya kepada Fiqhi untuk membawa Nina
kepinggir lapangan, dengan segera
Fiqhi mengahampiri dan Nida menitipkan Nina kepadanya supaya ia mau berhenti
berlari, dan akhirnya setelah dibujuk dan dinasehati ia mau berhenti, danmenyelesaikan
lari yang belum tuntas satu putaran.Setelah praktek lari selesai dilaksankan
Fiqhi, Nina, dan Nida kembali kesekolah dan langsung menuju kantin yang berada
didekat lapang olahraga. Disana mereka meneguk segelas air putih untuk
menghilangkan rasa dahaga dari tenggorokkannya yang seakan kering kerontang
menantikan kesegaran. Ketika mereka sedang istirahat disamping kantin yang
berhiaskan pohon rindang Fiqhi, Nina, dan Nida bersama teman-temannya yang lain,
Nina sempat mengatakan sesuatu yang seakan tak wajar dan sangat mengejutkan
teman-temannya.
“Tubuhku semakin kurus bahkan menurun
hingga 15 kg, kalau terus terjadi seperti ini mungkin aku akan mati dengan
segera” ujar Nina dengan tenangnya sembari duduk menyandar.
“Bicara apa kamu Nin, pamali tau” Fiqhi
tercengang mendengar ucapan kekasihnya itu.
“Iya nih, hidup dan mati kita kan hanya
tuhan yang tahu Nin, awas jangan berkata seperti itu lagi” Nida mengingatkan
Nina tentang apa yang telah diujarkannya.
“Iya deh iya” Nina berkata dengan
tangannya yang memainkan gelas air.
“Nina, mungkin sekarang tuhan sedang
menguji kesabaran mu dengan memberi cobaan rasa sakit pada ragamu, tapi
bukankah tuhan akan memberi ujian kepada umatnya semata-mata untuk meningkatkan
derajat umat dihadapannya, berdoalah dan terus berusaha untuk kesembuhanmu,
kami semua akan senantiasa menemanimu melawan penyakitmu itu” Nida menasehati
Nina dengan menggenggam tangannya.
“Benar yang dikatakan Nida, tuhan tidak
akan memberi cobaan kepada umatnya tanpa ia mempersiapkan sebuah hikmah yang
akan ada didalam setiap kejadian, mungkin kita tidak bisa merasakan sakit yang
kamu alami, tapi kita akan lebih merasa sakit jika kamu menyerah dan seakan
enggan berjuang untuk kebaikanmu sendiri” Fiqhi menambahkan nasihat yang
diujarkan Nida kepada Nina.
“Baiklah, mulai sekarang aku tak akan
lagi menyerah dengan penyakitku ini, aku akan berusaha demi kebaikanku bersama
takdir tuhan yang telah ditetapkan untuk tidak mengecewakan kalian, orangtua,
dan semua orang yang menyayangi dan disayangiku” Nina mulai tergerak untuk
tidak asal bicara dan tak mau menjadikan teman-teman dan shabatnya bersedih
karenanya.
“Nah, ini baru namanya Nina yang selama
ini kita kenal, Nina yang selalu kuat dan ceria, semangat kawan” Nida
menyemangati Nina.
“Semangat!” Fiqhi, Nida dan
teman-temannya mengangkat kepalan tangannya keatas untuk mensukung Nina.
“Terimakasih semuanya” Nina terharu
melihat sikap teman-teman dan sahabatnya yang antusias mendukung Nina untuk
terbebas dari penyakit radang sendi dan maag kronis yang ia derita.
“Iya Nina, sama-sama, memberikanmu
semangat adalah kewajiban kami” Nida menjawab ucapan terimaksih yang Nina
ujarkan.
Tak berselang lama, mereka bergegas
menuju ruangan kelas untuk membawa tas karena kegiatan disekolah hari itu sudah
selesai dan mereka pun pulang kerumah masing-masing dengan mengenakan baju
seragam olahraga yang berwarna biru muda dan biru tua itu. Keesokan harinya hal
yang ditakutkan pun terjadi, Nina kembali tidak masuk sekolah karena
kesehatannya semakin memburuk, hari demi hari bahkan sampai hitungan bulan keadaannya
semakin mengkhawatirkan, sampai suatu saat ketika kegiatan praktek senam Fiqhi
menghampiri Nida.
“Nid, Ibu dan Bapak Nina ada disini,
apa yang harus aku lakukan?” tanya Fiqhi yang seakan bingung dengan apa yang
harus ia perbuat.
“Sekarang mereka dimana Qhi?” jawab
Nina yang kembali bertanya kepada Fiqhi tentang keberadaan orangtua Nina.
“Ibunya sedang keruang guru, sedangkan Bapaknya
menunggu di pos satpam, itu beliau” Fiqhi menunjukkan lentik jemari telunjuknya
kearah post satpam yang terlihat lurus dari pintu depan kelas.
“Fiqhi, lebih baik sekarang cepat kamu
temui mereka, hampiri Bapaknya dan tunggu Ibunya keluar dari ruang guru,
tanyakan keadaan dan kesahatan Nina” Nida memberi saran kepada Fiqhi dengan
nada lembut dan sedikit menasihati.
Mendengar saran dari Nida, Fiqhi menitipkan
jasberwarna hitam yang diletakkan dibahunya pemberian dari Ninadan bergegas
pergi mengampiri OrangtuaNina. Terlihat Fiqhi berbincang serius dengan orangtua
Nina yang tak lama kemudian meninggalkan sekolah. Fiqhi kembali menghampiri
Nida dan mengatakan bahwa keadaan Nina semakin parah ia hanya bisa terdiam
didalam kamar dengan terbaring lemah diatas ranjang dan untuk bangunpun harus
dibantu.Berselang beberapa minggu tepatnya ketika sedang beralngsung ujian
sekolah, datang seorang Ibu guru yang memberitahukan bahwa Nina masuk rumah
sakit dan berat badannya tinggal 20 kg, rasa tak percaya mendengar Nina yang
biasanya penuh dengan canda tawa dan keceriaan harus tergeletak di rumah sakit,
seakan mengendap dalam bendak setiap murid yang ada dikelas dua belas pemasaran
satu itu. Nina yang semula adalah siswi yang sangat ceria dalam kesehariannya
disekolah kini tak berdaya menahan rasa sakit yang membatasi gerak langkahnya.Setelah
ujian pada hari itu selesai Nida bersama teman-teman yang lain bergegas
menjenguk Nina yang dirawat disebuah kamar perwatan dilantai dua, tepatnya
ruang Dahlia rumah sakit umum daerah yang ada dikota kecil itu.Setibanya disana
Fiqhi telah terlebih dahulu berada di dalam kamar bersama keluarga Nina, dengan
menahan tangis yang menggenang didalam kelopak yang tak kuasa menahan pilu Nida
memegang tangan Nina yang terbujur lemas diatas ranjang paling depan dekat
pintu.Tanpa berbicara ia hanya memegang tangan Nidadengan tangannya yang dingin
dan menggerakkan lentik jari-jemarinya, dengan suara perlahan Nina mengeluh kepanasan karena yang
menjenguk cukup banyak dan mengelilingi ranjang yang ditempatinya, sebagian
dari teman-temannya pun beranjak pergi dan berpamitan karena kasihan melihat
Nina yang kepanasan, berbeda dengan Fiqhi yang senantiasa menemani Nina bahkan
sampai larut malam.Keesokan harinyasetelah pulang sekolah mereka kembali
menjenguk Nina, dan pada saat itu Nida berharap dan mengira keadaan Nina
semakin membaik, melihat Nina yang sudah mulai bisa berkomuinkasi meskipun
secara perlahan dan seakan tak kuasa menahan penyakit yang menggerogoti
tubuhnya, Nina pun sempat bertanya sembari menatap Nida.
“Kemana jalan?”tanya Nina, maksudnnya
untuk menanyakan jalan yang Nida dan teman-temannya lintasi menuju kamar
tempatnnya dirawat.
“Keparikaran Nin,” Nida menjawab dengan
antusias mendengar sahabatnya itu mengajak berkomunikasi.
Meskipun Nida dan teman-temannya yang
lain tak mampu membantu Nina dengan materi tetapi memotivasi dan mondoakan Nina
adalah tindakan yang senantiasa mereka lakukan supaya Nina lekas sembuh dan
bisa kembali berkumpul bersama duduk dibangku sekolah menuntut ilmu untuk masa
depan mereka,dengan berjalan kaki mereka melangkah menuju tempat untuk menuggu
angkutan umum dan pulang kerumah masing-masing.Berselang satu hari karena hari
minggu Nida dan teman-temannya merencanakan untuk kembali menjenguk Nina pada
hari senin dan berniat mengumpulkan uang yang akan mereka belikan buah-buahan
untuk Nina.Senin di pagi hari sekitar pukul 06.30 wib Nida bersama salah satu
temannya melintas di kawasan rumah sakit tempat Nina dirawat, mereka pun
membulatkan tekad untuk menjenguk Nina sepulang sekolah, setibanya di kelas
keadaan berjalan seperti biasa yang disibukan dengan persiapan ujian, selang
beberapa saat pengawas datang dengan membawa map yang berisikan soal dan tata
tertib pelaksanaan ujian dan menandakan ujian akan segera dimulai, seluruh
siswa yang hadir berbaris rapi didepan kelas dan satu persatu kartu ujian
diperiksa dari setiap siswa.Setelah selesai mereka duduk di bangku
masing-masing dan tersisa satu bangku kosong, yaitu bangku yang diperuntukan bagi
Nina, tidak lama ujian berlangsung datang seorang guru perempuan dengan membawa
kabar yang sangat mengejutkan, didepan pintu kelas secara perlahan diberitahukannya
bahwa Nina telah wafat sekitar jam tujuh
pagi, dan telah di pastikan kebenarannya oleh pihak sekolah yang telah
menghubungi pihak rumah sakit dan keluarga Nina. Gemuruh cahaya berkilat seakan
mencambuk raga yang tak beriring damai, mungkin itulah gambaran perasaan Nida,
Fiqhi dan teman-teman yang lain mendengar ujaran yang dilafalkan oleh
perwakilan guru.Seketika itu pula jerit
tangis menyeruak didalam kelas menyelimuti dua ruangan tempat kelas
pemasaran satu melaksanakan ujian, yaitu ruangan yang di tempati Fiqhi dan ruangan
yang seharusnya ditempati Nina. Rasa tak
percaya mendengar Nina telah tiada beradu menjadi satu dalam deraian air mata
haru yang tak henti mengiringi kepergian Nina yang begitu cepat dan sama sekali
tak pernah terbayangkan, guru dan pengawas turun tangan untuk menengkan semua
siswa yang berada dalam ruangan dan menyarankan untuk kembali melanjutkan
ujian.
“Kami tahu apa yang kalian rasakan
sekarang, kehilangan teman seperjuangan sangatlah menyakitkan, tapi apakah
kalian hanya mampu menangisi kepergiannya tanpa mempersembahkan untaian doa
yang sangat diaharapkan untuk mengiringi kepergiannya. Ikhlaskan teman kalian,
tuhan telah membebaskan Nina dari rasa sakit yang selama ini dia rasakan,
doakan dia supaya amal ibadah yang ia perbuat membawanya menuju firdaus yang
sangat indah, sekarang hentikan sejenak tangis kalian mari kita bersama-sama
berdoa untuk Nina, dan kembali lanjutkan ujian kalian” Pengawas menenangkan
seluruh siswa dengan nasihat yang ia lantunkan dan mengajak mereka membaca doa
untuk Nina.
Seluruh siswa dan pengawas dalam
ruangan berdoa dengan khusuk meski dalam deraian air mata yang tak henti
membasahi pipi mereka.Terdengar Fiqhi sempat mengamuk mendengar seseorang yang
disayangi dan dikasihinya telah tertidur untuk selamanya menuju rumah tuhan
pemilik sejati dari raga dan jiwa manusia. Lantas salah satu siswa laki-laki
bertubuh tinggi besar yang sempat membuat Nina terjatuh ketika praktek lari
meninta izin kepada pengawas untuk menemani Fiqhimelaksanakan shalat gaib di
mesjid sekolah dan selanjutnya mengantarnya kerumah Nina.
“Ibu, bolehkah saya menemani Fiqhi
untuk melaksanakan shalat gaib di mesjid dan mengantarnya kerumah Nina, saya
mohon bu, saya akan melaksakan ujian susulan dihari esok bersama dengan Fiqhi
karena saya tidak tega melihatnya bu?” tanya salah satu teman laki-laki mereka
itu.
“Jika itu menjadi jalan yang terbaik
ibu tidak bisa melarang,pergilah tenangkan dia hati-hati dijalan jangan negbut,
meskipun hati kalian sedang tak karuan tapi keselamatan kalian jauh lebih
penting” pengawas mengizinkannya untuk menemani Fiqhi dan mengingatkannya
supaya berhati-hati.
“Terimakasih bu, saya pamit mengantar
Fiqhi. Assalamulaikum” siswa itu mengucapkan terimakasih kepada pengawas yang
telah mengizinkannya untuk menemani Fiqhi.
“Iya nak, silahkan” pengawas
mempersilahkan salah satu siswa itu untuk meninggalkan ruangan dan kembali
melanjutkan ujian susulan dihari esok bersama Fiqhi yang tak mungkin
melaksanakan ujian dengan jiwa yang hancur tanpa sedikitpun konsentrasi yang ia
lakukan.
Ibu guru yang bertugas sebagai pengawas
dengan mengucapkan basmallah secara perlahan membuka papan nama Nina yang
tertera di meja sudut kiri paling depan dekat dengan pintu. Setelah ujian selesai
Nida bersama teman-temannya keluar ruangan bergabung dengan siswa di ruangan yang
ditempati Fiqhi, menagisi kepergian Nina yang tak pernah terbayang dan terduga
sebelumnya, dengan berjalannya waktu mereka bersama guru-guru bersiap hendak
melayat ke rumah Nina yang berjarak cukup jauh dari sekolah, beberapa mobil dan
sejumlah motor disiapkan, dan perjalananpun dilakukan dengan penuh keharuan,
setibanya disana tanpa sempat memasuki rumah Nina, Lina adik dari Fiqhi yang
telah terlebih dahulu tiba disana mengatakan bahwa Nina sedang dalam proses
pemakaman.
“Kakak-kakak, sekarang Kak Nina sedang
dalam proses pemakaman, letak makamnya disana” Lina menunjuk arah pemakaman
yang sedang dilangsungkan pemakaman Nina.
Bersama tangis yang tak henti mereka bergegas lari dengan tangis yang tak
henti menuju makam yang jaraknya lumayan tak jauh dari kediaman Nina dengan
jalan yang sedikit menanjak, setibanya disana jasad Nina sudah berada di liang
lahat dan tinggal setengah lagi tanah yang dikuburkan diatas makamnya terlihat
Fiqhi berdiri memeluk adik Nina dari belakang bersama Bapak Nina tepat
disamping makam tempat kekasih yang menjalin asmara dengannya kurang dari dua
tahun itu menuju alam yang berbeda, tangis haru tak terbendung melihat raga
yang pernah bersama dalam suka dan duka dan kini telah terbujur kaku menghadap
kiblat dengan berbalut kain putih ditemani batu nisanyang menjadi pertanda
bahwa ia telah berpindah tempat menuju keabadian dan meninggalkan kepanaan
dunia, keluarga, orang-orang yang disayangi dan menyayanginya, sekaligus
meninggalkan Bintang kekasihnya yang memanggil Nina dengan panggilan Bulan.
Setelah pemakaman berlangsung alunan langkah mereka seakan enggan meninggalkan
pusara tempat raga Nina terbujur kaku tak berbatas waktu dan jarum jam pun
mengarahkan mereka menuju rumah Nina untuk turut berbela sungkawa kepada
keluarga yang ditinggalkan.Setibanya disana Ibu Nina memeluk Nida dengan erat dengan
berderai air mata tanpa henti, ditambah lagi suasana haru semakin menjadi ketika
dengan berlinang air mata Fiqhi meminta maaf kepada Ibu Nina karena yang terlintas di benaknnya ia tidak
bisa menjaga dan membahagiakan Nina selam ia menjadi kekasihnya.
“Ibu, maafkan aku yang tak bisa menjadi
kekasih yang baik untuk Nina dan tidak bisa menjaga dan merawat Nina dengan
baik bu, maafkan aku Ibu?” Fiqhi meminta maaf kepada Ibu dari Nina dengan
bersujud dipangkuannya dalam tangis yang tak mampu ia sembunyikan.
“Bangun nak, tidak ada yang perlu
dimaafkan, justru Ibu yang seharusnya minta maaf karena selama ini Nina telah
merepotkan dan bahkan membebanimu, Ibu berterimakasih atas segala kebaikannmu
nak” Ibu Nina membangunkan Fiqhi dari pangkuannya dan memeluknya erat dengan
tangis yang seakan tiada henti.
“Tidak bu, Nina tidak pernah
membebaniku, saya sangat menyayangi dia bu” Fiqhi menjawab dalam tangisnya.
Seolah memberikan firasat akan
kepergiannya Nina membeli sepasang jas berwarna hitam yang dikenakannya bersama
Fiqhi,dan tak pernah Nida sangka kalimat “kemana jalan” yang diucapkan Nina
ketika dirumah sakit adalah kata-kata terakhir yang Nida dengar langsung dari
alat ucap sahabatnya itu. Tak ada lagi sosok gadis periang yang ada hanyalah
pusara yang bertuliskan nama dengan dua buah tanggal yang tertera diatas kayu
dengan tinta hitam dan menjadi petunjuk bahwa ia telah tiba di tempat
peristirahatan terakhirnya. Mimpi buruk adalah gambaran suasana yang terjadi.
Fiqhi dan Nida seakan meronta untuk terbangun dari mimpi buruknya, tapi mimpi
buruk itu benar adanya dan waktupun tak bisa lagi mengembalikan kebersamaan
mereka yang terjalin selama ini. Hari itu adalah hari tanpa senyuman dan hanya
berhias berhias butiran nyawa yang sekan tak henti melintasi kelopak-kelopak
jiwa yang nestapa. Persahabatan Fiqhi, Nida dan Nina kini berbatas jarak untuk
selamanya. Mereka tidak lagi terpisahkan oleh tugas PRAKERIN yang memisahkan
jarak mereka dengan tempat yang berbeda dan berjauhan, tetapi lebih dari itu
mereka terpisahkan ruang dan waktu bahkan alam yang berbeda. Fiqhi dan Nida tak
lagi mampu bersapa dalam tatapan nyata bersama Nina, melainkan mereka hanya
bisa menyapa Nina dalam untaian merdu lafal doa dari lirik-lirik suci yang
dilantunkan merdu dalam kesungguhan dan berkunjung menuju bukit sepi yang
berhiaskan kamboja cantik disamping pusara yang mengandung raga tak bernyawa
didalamnya.Nina kini tinggal sebuah nama yang meninggalkan potret wajahnya
menjadi sampul helaian-helaian kertas dalam salah satu surat yang tertera dalam
kitab suci. Nina abadi dalam lelapnya sedangkan Fiqhi dan Nida harus tetap melanjutkan kehidupannya yang tak mungkin dilalui terlalu
larut dala duka yang tak berujung. Raga mereka tak lagi bersama tetapi
kebersamaan yang kini telah menjadi kenyataan yang teramat menyakitkan tersusun
rapi menjadi sebuah rangkaian kenangan yang tak akan pernah terlupakan untuk
Fiqhi dan Nida dari sahabat yang selama lebih dari dua tahun menemani jejak
disetiap langkah persahabatan. Pusara adalah satu-satunya pertanda keberadaan
Nina, disanalah kelopak mata indahnya terlelap untuk selamanya ditutupi kapuk
putih lembut yang menghentikan pandangannya dari kefanaan dunia, dibawah
dinding tanah yang membebaskannya dari kejaran penyakit yang seakan tak henti
menggerogoti tubuh mungil yang berkulit putih itu. Raganya telah abadi
terpendam bersama rasa kasihnya untuk Fiqhi yang tak mungkin lagi terukir indah
di dunia nyata, urat nadinya tak lagi berdenyut dan memisahkan jiwa dari
raganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar