Rabu, 26 November 2014

cerpen Pusara



PUSARA
          Berawal dari berjabat tangan,perkenalan itu secara perlahan menyulam pertemanan dan akhirnya terjalin sebuah persahabatan. Memberi kesan yang tak mungkin terlupakan untuk Fiqhi, Nina, dan Nida. Senda gurau yang menghiasi persahabatan mereka tak luput dari kesalah pahaman, terkadang keseharian yang penuh canda tawa dilintasi dengan perbedaan pendapat yang tak jarang menjadi batasan jarak untuk tidak saling menyapa,  meskipun pada akhirnya kebersamaan itu kembali terjalin dengan adanya keceriaan yang merekahkan senyuman bahagia diantara mereka. Kurang dari tiga tahun menyatukan diri sebagai pelajar yang berseragam putih abu-abu disekolah menengah kejuruan swasta yang berada disebuah kota kecil, kebersamaan Fiqhi, Nida dan Nina secara perlahan mulai terenggut.Bermula ketika tugas Praktek Kerja Industri (PRAKERIN) yang mengharuskan mereka untuk berpisah satu sama lain karena tempat yang berbeda dan berjauhan selama tiga bulan berturut-turut. Fiqhi praktek disebuah perusahaan makanan terkemuka, Nina praktek disebuah butik pakaian diluar kota, dan Nida praktek disebuah mini market dikotanya. Keinginan untuk berkumpul bersama senantiasa menyeruak dalam kalbu mereka dan dapat sedikit terobati ketika alat komunikasi itu mendekatkan mereka dalam berkata meskipun tanpa adanya sandaran raga. Tiga bulan yang seakan bergulir begitu lambat akhirnya tiba pada suatu saat ketika mereka menyelesaikan tugas PRAKERIN dan kembali memduduki bangku sekolah yang telah lama tak mereka singgahi. Berbagi cerita tentang pengalaman selama PRAKERIN menjadi sebuah agenda yang tak  mereka lewatkan pada saat kembali bertatap muka, mulai dari Fiqhi yang bertugas untuk mengantar barang dari satu tempat ke tempat lain, Nina yang bertugas menata pakaian, dan Nida yang menjadi seorang kasir mini market, adalah pengalaman dan pembelajaran hidup yang tak akan pernah mereka lupakan. Mereka merasakan bagaimana sulitnya mendapatkan sesuap nasi yang harus melewati perjuangan untuk mendapatkannya.Kurang dari dua bulan mereka kembali belajar efektif didalam kelas,Ninagadis periang ituterserang penyakit.Awalnya yang terlintas didalam benak Nida mungkin ia hanya kelelahan, tapi semakin bertambahnya hari kesehatannya semakin menurun dan semakin jarang pula ia masuk sekolah. Terakhir ia masuk sekolah pada saat ujian praktek mata pelajaran olahraga, badanya mengurus dan wajahnya terlihat sangat pucat.Dalam perjalanan menuju lapangan yang menjadi tempat praktek lari dilaksanakan,  Nina tampak murung dan berjalan sendirian seolah menjaga jarak tanpa berharap ada yang menemani.Setibanya disana sembari menunggu giliran ia duduk bersama Fiqhi,sahabat yang menjadi kekasihnya itu dan biasadipanggilnya dengan sebutan Bintang.Tanpa bisa dilarang ia memaksa untuk mengikuti pelaksanaan praktek lari, Nida dan Nina mendapat giliran bersamaan karena jarak absensi yang berdekatan, dengan suara yang lemas dan terdengar samar, ia mengingatkan Nida untuk tidak berlari dengan cepat karena Nina tak akan mampu melakukannya dengan tubuh yang seakan tak berdaya.
“Nida larinya jangan terlalu cepat ya, aku gak bisa badanku lemas?” Tanya Nina dengan suaranya yang terdengar sangat pelan dan serak.
“Iya, tapi akan lebih baik kalau kamu istirahat saja, Pak Guru juga pasti akan memaklumi keadaanmu Nin” jawab Nida dengan nada menasihati.
“Tidak, meskipun aku sakit tapi aku kuat Nid, percayalah aku akan baik-baik saja” Nina meyakinkan Nida untuk mengizinkannya mengikuti praktek lari.
“Tapi Nin, kalau sakit kamu kambuh lagi bagaimana, kamu jangan khawatir Pak Guru pasti akan tetap memberikan nilai meskipun kamu tidak mengikuti praktek lari, beliau akan memberikan tugas yang bisa kamu kerjakan dirumah Nin?” tanya Nida yang mencemaskan keadaan sahabatnya itu.
“Tolong Nid biarkan aku ikut praktek lari, aku mohon jangan halangi aku seperti Fiqhi yang juga melarangku untuk mengikuti praktek lari ini” Nina merintih kepada Nida untuk mendukungnya mengikuti praktek lari.
“Nin, Fiqhi bukan semata-mata melarang apa yang ingin kamu lakukan tapi ia menghawatirkan keadaanmu, karena ia sangat menyayangimu” seakan tak mau menyerah Nida menasihati Nina.
“Iya Nida, tapi untuk sekali ini saja kalian turuti kemauanku, aku hanya ingin seperti mereka yang bisa mengikuti ujian praktek meskipun aku sakit” Nina memohon-mohon dengan memegang tangan Nida.
“Ya sudah, sekarang aku hanya bisa mendoakanmu Nin supaya kamu kuat untuk mengikuti praktek lari ini dan tidak menjadikan penyakit kamu kambuh lagi” Nida menuruti kemauan Nina meski dalam kekhawatirannya.
“Terimakasih Nid” Nina dan Nida keduanya berpelukan erat.
“Iya Nina, sahabatku yang nakal dan gak mau dinasehati” jawab Nida dengan suasana sedikit bercanda.
“Ih kamu ini Nid, ada-ada saja” Nina tergelak tawa dengan sedikit mencubit tangan Nida.
“Aduh, sakit Nina” Nida mengeluh dengan mencolek pinggang Nina sambil tertawa.
“Geli tau” Nina dan Nida tertawa bersama seakan tak ada beban, dan Nina pun seakan terbebas sejenak dari rasa sakit yang ia derita.   
Berselang beberapa saat satu demi satu peserta yang mendapat giliran lebih dahulu mulai menyelesaikan ujian praktek lari dengan waktu yang telah ditentukan termasuk Fiqhi didalamnya. Pak guru yang mengawasi pelaksanaan ujian mencatat waktu dan jumlah putaran yang mampu dicapai oleh peserta, dan mulai mempersiapkan kembali peserta yang akan mengikuti praktek lari berikutnya termasuk Nina dan Nida. Tak lama kemudian ketikapengaturan wakti dijalankan dan pluit dalam genggaman pengawas dibunyikan Nina dan Nida berlari sangat pelan seperti sedang berjalan dengan tangan yang saling berpegangan, sebisa mungkin Nida terus berusaha menasehati Nina yang dikhawatirkan kesehatannya yang sedang terganggu, supaya mengurungkan niatnya untuk mengikuti praktek lari mengingat kesehatannya yang belum pulih dan jika dipaksakan bisa mengganggu kesehatan tubuhnya yang sedang dalam keadaan rentan.Kurang dari lima menit merekaberjalan, ia tersenggol  salah satu teman laki-laki yang berlari dengan kecepatan sedang dan seakan sengaja menjahili Nina dengan sedikit senyuman yang terlintas dari raut wajahnya dengan postur tubuh yang tinggi besar,seketika itu pula ia terjatuh dengan posisi jongkok dengan tangan mengenai tanah, sigap Nidamengulurkan tangan untuk membantu sahabatnya itu berdiri, Ninamemperlihatkan tangannya yang lecet dan sedikit berdarah, secara perlahan ia mulai berdiri tertatih dengan tangannya yang gemetar. Nida melambaikan tangannya kepada Fiqhi untuk membawa Nina kepinggir lapangan, dengan segera Fiqhi mengahampiri dan Nida menitipkan Nina kepadanya supaya ia mau berhenti berlari, dan akhirnya setelah dibujuk dan dinasehati ia mau berhenti, danmenyelesaikan lari yang belum tuntas satu putaran.Setelah praktek lari selesai dilaksankan Fiqhi, Nina, dan Nida kembali kesekolah dan langsung menuju kantin yang berada didekat lapang olahraga. Disana mereka meneguk segelas air putih untuk menghilangkan rasa dahaga dari tenggorokkannya yang seakan kering kerontang menantikan kesegaran. Ketika mereka sedang istirahat disamping kantin yang berhiaskan pohon rindang Fiqhi, Nina, dan Nida bersama teman-temannya yang lain, Nina sempat mengatakan sesuatu yang seakan tak wajar dan sangat mengejutkan teman-temannya.
“Tubuhku semakin kurus bahkan menurun hingga 15 kg, kalau terus terjadi seperti ini mungkin aku akan mati dengan segera” ujar Nina dengan tenangnya sembari duduk menyandar.
“Bicara apa kamu Nin, pamali tau” Fiqhi tercengang mendengar ucapan kekasihnya itu.
“Iya nih, hidup dan mati kita kan hanya tuhan yang tahu Nin, awas jangan berkata seperti itu lagi” Nida mengingatkan Nina tentang apa yang telah diujarkannya.
“Iya deh iya” Nina berkata dengan tangannya yang memainkan gelas air.
“Nina, mungkin sekarang tuhan sedang menguji kesabaran mu dengan memberi cobaan rasa sakit pada ragamu, tapi bukankah tuhan akan memberi ujian kepada umatnya semata-mata untuk meningkatkan derajat umat dihadapannya, berdoalah dan terus berusaha untuk kesembuhanmu, kami semua akan senantiasa menemanimu melawan penyakitmu itu” Nida menasehati Nina dengan menggenggam tangannya.
“Benar yang dikatakan Nida, tuhan tidak akan memberi cobaan kepada umatnya tanpa ia mempersiapkan sebuah hikmah yang akan ada didalam setiap kejadian, mungkin kita tidak bisa merasakan sakit yang kamu alami, tapi kita akan lebih merasa sakit jika kamu menyerah dan seakan enggan berjuang untuk kebaikanmu sendiri” Fiqhi menambahkan nasihat yang diujarkan Nida kepada Nina.
“Baiklah, mulai sekarang aku tak akan lagi menyerah dengan penyakitku ini, aku akan berusaha demi kebaikanku bersama takdir tuhan yang telah ditetapkan untuk tidak mengecewakan kalian, orangtua, dan semua orang yang menyayangi dan disayangiku” Nina mulai tergerak untuk tidak asal bicara dan tak mau menjadikan teman-teman dan shabatnya bersedih karenanya.
“Nah, ini baru namanya Nina yang selama ini kita kenal, Nina yang selalu kuat dan ceria, semangat kawan” Nida menyemangati Nina.  
“Semangat!” Fiqhi, Nida dan teman-temannya mengangkat kepalan tangannya keatas untuk mensukung Nina.
“Terimakasih semuanya” Nina terharu melihat sikap teman-teman dan sahabatnya yang antusias mendukung Nina untuk terbebas dari penyakit radang sendi dan maag kronis yang ia derita.
“Iya Nina, sama-sama, memberikanmu semangat adalah kewajiban kami” Nida menjawab ucapan terimaksih yang Nina ujarkan. 
Tak berselang lama, mereka bergegas menuju ruangan kelas untuk membawa tas karena kegiatan disekolah hari itu sudah selesai dan mereka pun pulang kerumah masing-masing dengan mengenakan baju seragam olahraga yang berwarna biru muda dan biru tua itu. Keesokan harinya hal yang ditakutkan pun terjadi, Nina kembali tidak masuk sekolah karena kesehatannya semakin memburuk, hari demi hari bahkan sampai hitungan bulan keadaannya semakin mengkhawatirkan, sampai suatu saat ketika kegiatan praktek senam Fiqhi menghampiri Nida.
“Nid, Ibu dan Bapak Nina ada disini, apa yang harus aku lakukan?” tanya Fiqhi yang seakan bingung dengan apa yang harus ia perbuat.
“Sekarang mereka dimana Qhi?” jawab Nina yang kembali bertanya kepada Fiqhi tentang keberadaan orangtua Nina.
“Ibunya sedang keruang guru, sedangkan Bapaknya menunggu di pos satpam, itu beliau” Fiqhi menunjukkan lentik jemari telunjuknya kearah post satpam yang terlihat lurus dari pintu depan kelas.
“Fiqhi, lebih baik sekarang cepat kamu temui mereka, hampiri Bapaknya dan tunggu Ibunya keluar dari ruang guru, tanyakan keadaan dan kesahatan Nina” Nida memberi saran kepada Fiqhi dengan nada lembut dan sedikit menasihati.
Mendengar saran dari Nida, Fiqhi menitipkan jasberwarna hitam yang diletakkan dibahunya pemberian dari Ninadan bergegas pergi mengampiri OrangtuaNina. Terlihat Fiqhi berbincang serius dengan orangtua Nina yang tak lama kemudian meninggalkan sekolah. Fiqhi kembali menghampiri Nida dan mengatakan bahwa keadaan Nina semakin parah ia hanya bisa terdiam didalam kamar dengan terbaring lemah diatas ranjang dan untuk bangunpun harus dibantu.Berselang beberapa minggu tepatnya ketika sedang beralngsung ujian sekolah, datang seorang Ibu guru yang memberitahukan bahwa Nina masuk rumah sakit dan berat badannya tinggal 20 kg, rasa tak percaya mendengar Nina yang biasanya penuh dengan canda tawa dan keceriaan harus tergeletak di rumah sakit, seakan mengendap dalam bendak setiap murid yang ada dikelas dua belas pemasaran satu itu. Nina yang semula adalah siswi yang sangat ceria dalam kesehariannya disekolah kini tak berdaya menahan rasa sakit yang membatasi gerak langkahnya.Setelah ujian pada hari itu selesai Nida bersama teman-teman yang lain bergegas menjenguk Nina yang dirawat disebuah kamar perwatan dilantai dua, tepatnya ruang Dahlia rumah sakit umum daerah yang ada dikota kecil itu.Setibanya disana Fiqhi telah terlebih dahulu berada di dalam kamar bersama keluarga Nina, dengan menahan tangis yang menggenang didalam kelopak yang tak kuasa menahan pilu Nida memegang tangan Nina yang terbujur lemas diatas ranjang paling depan dekat pintu.Tanpa berbicara ia hanya memegang tangan Nidadengan tangannya yang dingin dan menggerakkan lentik jari-jemarinya, dengan suara  perlahan Nina mengeluh kepanasan karena yang menjenguk cukup banyak dan mengelilingi ranjang yang ditempatinya, sebagian dari teman-temannya pun beranjak pergi dan berpamitan karena kasihan melihat Nina yang kepanasan, berbeda dengan Fiqhi yang senantiasa menemani Nina bahkan sampai larut malam.Keesokan harinyasetelah pulang sekolah mereka kembali menjenguk Nina, dan pada saat itu Nida berharap dan mengira keadaan Nina semakin membaik, melihat Nina yang sudah mulai bisa berkomuinkasi meskipun secara perlahan dan seakan tak kuasa menahan penyakit yang menggerogoti tubuhnya, Nina pun sempat bertanya sembari menatap Nida.
“Kemana jalan?”tanya Nina, maksudnnya untuk menanyakan jalan yang Nida dan teman-temannya lintasi menuju kamar tempatnnya dirawat.
“Keparikaran Nin,” Nida menjawab dengan antusias mendengar sahabatnya itu mengajak berkomunikasi.
Meskipun Nida dan teman-temannya yang lain tak mampu membantu Nina dengan materi tetapi memotivasi dan mondoakan Nina adalah tindakan yang senantiasa mereka lakukan supaya Nina lekas sembuh dan bisa kembali berkumpul bersama duduk dibangku sekolah menuntut ilmu untuk masa depan mereka,dengan berjalan kaki mereka melangkah menuju tempat untuk menuggu angkutan umum dan pulang kerumah masing-masing.Berselang satu hari karena hari minggu Nida dan teman-temannya merencanakan untuk kembali menjenguk Nina pada hari senin dan berniat mengumpulkan uang yang akan mereka belikan buah-buahan untuk Nina.Senin di pagi hari sekitar pukul 06.30 wib Nida bersama salah satu temannya melintas di kawasan rumah sakit tempat Nina dirawat, mereka pun membulatkan tekad untuk menjenguk Nina sepulang sekolah, setibanya di kelas keadaan berjalan seperti biasa yang disibukan dengan persiapan ujian, selang beberapa saat pengawas datang dengan membawa map yang berisikan soal dan tata tertib pelaksanaan ujian dan menandakan ujian akan segera dimulai, seluruh siswa yang hadir berbaris rapi didepan kelas dan satu persatu kartu ujian diperiksa dari setiap siswa.Setelah selesai mereka duduk di bangku masing-masing dan tersisa satu bangku kosong, yaitu bangku yang diperuntukan bagi Nina, tidak lama ujian berlangsung datang seorang guru perempuan dengan membawa kabar yang sangat mengejutkan, didepan pintu kelas secara perlahan diberitahukannya bahwa Nina telah wafat sekitar  jam tujuh pagi, dan telah di pastikan kebenarannya oleh pihak sekolah yang telah menghubungi pihak rumah sakit dan keluarga Nina. Gemuruh cahaya berkilat seakan mencambuk raga yang tak beriring damai, mungkin itulah gambaran perasaan Nida, Fiqhi dan teman-teman yang lain mendengar ujaran yang dilafalkan oleh perwakilan guru.Seketika itu pula jerit  tangis menyeruak didalam kelas menyelimuti dua ruangan tempat kelas pemasaran satu melaksanakan ujian, yaitu ruangan yang di tempati Fiqhi dan ruangan yang seharusnya ditempati Nina.  Rasa tak percaya mendengar Nina telah tiada beradu menjadi satu dalam deraian air mata haru yang tak henti mengiringi kepergian Nina yang begitu cepat dan sama sekali tak pernah terbayangkan, guru dan pengawas turun tangan untuk menengkan semua siswa yang berada dalam ruangan dan menyarankan untuk kembali melanjutkan ujian.
“Kami tahu apa yang kalian rasakan sekarang, kehilangan teman seperjuangan sangatlah menyakitkan, tapi apakah kalian hanya mampu menangisi kepergiannya tanpa mempersembahkan untaian doa yang sangat diaharapkan untuk mengiringi kepergiannya. Ikhlaskan teman kalian, tuhan telah membebaskan Nina dari rasa sakit yang selama ini dia rasakan, doakan dia supaya amal ibadah yang ia perbuat membawanya menuju firdaus yang sangat indah, sekarang hentikan sejenak tangis kalian mari kita bersama-sama berdoa untuk Nina, dan kembali lanjutkan ujian kalian” Pengawas menenangkan seluruh siswa dengan nasihat yang ia lantunkan dan mengajak mereka membaca doa untuk Nina.
Seluruh siswa dan pengawas dalam ruangan berdoa dengan khusuk meski dalam deraian air mata yang tak henti membasahi pipi mereka.Terdengar Fiqhi sempat mengamuk mendengar seseorang yang disayangi dan dikasihinya telah tertidur untuk selamanya menuju rumah tuhan pemilik sejati dari raga dan jiwa manusia. Lantas salah satu siswa laki-laki bertubuh tinggi besar yang sempat membuat Nina terjatuh ketika praktek lari meninta izin kepada pengawas untuk menemani Fiqhimelaksanakan shalat gaib di mesjid sekolah dan selanjutnya mengantarnya kerumah Nina.
“Ibu, bolehkah saya menemani Fiqhi untuk melaksanakan shalat gaib di mesjid dan mengantarnya kerumah Nina, saya mohon bu, saya akan melaksakan ujian susulan dihari esok bersama dengan Fiqhi karena saya tidak tega melihatnya bu?” tanya salah satu teman laki-laki mereka itu.
“Jika itu menjadi jalan yang terbaik ibu tidak bisa melarang,pergilah tenangkan dia hati-hati dijalan jangan negbut, meskipun hati kalian sedang tak karuan tapi keselamatan kalian jauh lebih penting” pengawas mengizinkannya untuk menemani Fiqhi dan mengingatkannya supaya berhati-hati.
“Terimakasih bu, saya pamit mengantar Fiqhi. Assalamulaikum” siswa itu mengucapkan terimakasih kepada pengawas yang telah mengizinkannya untuk menemani Fiqhi.
“Iya nak, silahkan” pengawas mempersilahkan salah satu siswa itu untuk meninggalkan ruangan dan kembali melanjutkan ujian susulan dihari esok bersama Fiqhi yang tak mungkin melaksanakan ujian dengan jiwa yang hancur tanpa sedikitpun konsentrasi yang ia lakukan. 
Ibu guru yang bertugas sebagai pengawas dengan mengucapkan basmallah secara perlahan membuka papan nama Nina yang tertera di meja sudut kiri paling depan dekat dengan pintu. Setelah ujian selesai Nida bersama teman-temannya keluar ruangan  bergabung dengan siswa di ruangan yang ditempati Fiqhi, menagisi kepergian Nina yang tak pernah terbayang dan terduga sebelumnya, dengan berjalannya waktu mereka bersama guru-guru bersiap hendak melayat ke rumah Nina yang berjarak cukup jauh dari sekolah, beberapa mobil dan sejumlah motor disiapkan, dan perjalananpun dilakukan dengan penuh keharuan, setibanya disana tanpa sempat memasuki rumah Nina, Lina adik dari Fiqhi yang telah terlebih dahulu tiba disana mengatakan bahwa Nina sedang dalam proses pemakaman.
“Kakak-kakak, sekarang Kak Nina sedang dalam proses pemakaman, letak makamnya disana” Lina menunjuk arah pemakaman yang sedang dilangsungkan pemakaman Nina.
Bersama tangis yang tak henti  mereka bergegas lari dengan tangis yang tak henti menuju makam yang jaraknya lumayan tak jauh dari kediaman Nina dengan jalan yang sedikit menanjak, setibanya disana jasad Nina sudah berada di liang lahat dan tinggal setengah lagi tanah yang dikuburkan diatas makamnya terlihat Fiqhi berdiri memeluk adik Nina dari belakang bersama Bapak Nina tepat disamping makam tempat kekasih yang menjalin asmara dengannya kurang dari dua tahun itu menuju alam yang berbeda, tangis haru tak terbendung melihat raga yang pernah bersama dalam suka dan duka dan kini telah terbujur kaku menghadap kiblat dengan berbalut kain putih ditemani batu nisanyang menjadi pertanda bahwa ia telah berpindah tempat menuju keabadian dan meninggalkan kepanaan dunia, keluarga, orang-orang yang disayangi dan menyayanginya, sekaligus meninggalkan Bintang kekasihnya yang memanggil Nina dengan panggilan Bulan. Setelah pemakaman berlangsung alunan langkah mereka seakan enggan meninggalkan pusara tempat raga Nina terbujur kaku tak berbatas waktu dan jarum jam pun mengarahkan mereka menuju rumah Nina untuk turut berbela sungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan.Setibanya disana Ibu Nina memeluk Nida dengan erat dengan berderai air mata tanpa henti, ditambah lagi suasana haru semakin menjadi ketika dengan berlinang air mata Fiqhi meminta maaf kepada Ibu Nina  karena yang terlintas di benaknnya ia tidak bisa menjaga dan membahagiakan Nina selam ia menjadi kekasihnya.
“Ibu, maafkan aku yang tak bisa menjadi kekasih yang baik untuk Nina dan tidak bisa menjaga dan merawat Nina dengan baik bu, maafkan aku Ibu?” Fiqhi meminta maaf kepada Ibu dari Nina dengan bersujud dipangkuannya dalam tangis yang tak mampu ia sembunyikan.
“Bangun nak, tidak ada yang perlu dimaafkan, justru Ibu yang seharusnya minta maaf karena selama ini Nina telah merepotkan dan bahkan membebanimu, Ibu berterimakasih atas segala kebaikannmu nak” Ibu Nina membangunkan Fiqhi dari pangkuannya dan memeluknya erat dengan tangis yang seakan tiada henti.
“Tidak bu, Nina tidak pernah membebaniku, saya sangat menyayangi dia bu” Fiqhi menjawab dalam tangisnya.
Seolah memberikan firasat akan kepergiannya Nina membeli sepasang jas berwarna hitam yang dikenakannya bersama Fiqhi,dan tak pernah Nida sangka kalimat “kemana jalan” yang diucapkan Nina ketika dirumah sakit adalah kata-kata terakhir yang Nida dengar langsung dari alat ucap sahabatnya itu. Tak ada lagi sosok gadis periang yang ada hanyalah pusara yang bertuliskan nama dengan dua buah tanggal yang tertera diatas kayu dengan tinta hitam dan menjadi petunjuk bahwa ia telah tiba di tempat peristirahatan terakhirnya. Mimpi buruk adalah gambaran suasana yang terjadi. Fiqhi dan Nida seakan meronta untuk terbangun dari mimpi buruknya, tapi mimpi buruk itu benar adanya dan waktupun tak bisa lagi mengembalikan kebersamaan mereka yang terjalin selama ini. Hari itu adalah hari tanpa senyuman dan hanya berhias berhias butiran nyawa yang sekan tak henti melintasi kelopak-kelopak jiwa yang nestapa. Persahabatan Fiqhi, Nida dan Nina kini berbatas jarak untuk selamanya. Mereka tidak lagi terpisahkan oleh tugas PRAKERIN yang memisahkan jarak mereka dengan tempat yang berbeda dan berjauhan, tetapi lebih dari itu mereka terpisahkan ruang dan waktu bahkan alam yang berbeda. Fiqhi dan Nida tak lagi mampu bersapa dalam tatapan nyata bersama Nina, melainkan mereka hanya bisa menyapa Nina dalam untaian merdu lafal doa dari lirik-lirik suci yang dilantunkan merdu dalam kesungguhan dan berkunjung menuju bukit sepi yang berhiaskan kamboja cantik disamping pusara yang mengandung raga tak bernyawa didalamnya.Nina kini tinggal sebuah nama yang meninggalkan potret wajahnya menjadi sampul helaian-helaian kertas dalam salah satu surat yang tertera dalam kitab suci. Nina abadi dalam lelapnya sedangkan Fiqhi dan Nida harus tetap melanjutkan kehidupannya yang tak mungkin dilalui terlalu larut dala duka yang tak berujung. Raga mereka tak lagi bersama tetapi kebersamaan yang kini telah menjadi kenyataan yang teramat menyakitkan tersusun rapi menjadi sebuah rangkaian kenangan yang tak akan pernah terlupakan untuk Fiqhi dan Nida dari sahabat yang selama lebih dari dua tahun menemani jejak disetiap langkah persahabatan. Pusara adalah satu-satunya pertanda keberadaan Nina, disanalah kelopak mata indahnya terlelap untuk selamanya ditutupi kapuk putih lembut yang menghentikan pandangannya dari kefanaan dunia, dibawah dinding tanah yang membebaskannya dari kejaran penyakit yang seakan tak henti menggerogoti tubuh mungil yang berkulit putih itu. Raganya telah abadi terpendam bersama rasa kasihnya untuk Fiqhi yang tak mungkin lagi terukir indah di dunia nyata, urat nadinya tak lagi berdenyut dan memisahkan jiwa dari raganya.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar