ANALISIS NOVEL BUMI
MANUSIA MELALUI PENDEKATAN SEMIOTIK
KARYA: PRAMOEDYA ANANTATOER

Oleh:
Riany Martien 1211503111
BSI/VII/C
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
BANDUNG
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Alllah SWT yang telah
melimpahkan berkat dan rahmatnya kepada seluruh umatnya. Selanjutnya Shalawat
dan salam turut penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan perjuangan
dan dan kasih sayangnya membawa umat manusia menuju kehidupan yang memiliki
peradaban.
Penulis memanjatkan syukur yang
sebesar-besarnya karena telah
menyelesaikan makalah sederhana tentang pendekatan semiotic Sausurre dalam
novel Bumi Manusia karya Pramudya Anantatoer. Penulis memandang penting penting
unutk mengkaji pendekatan sastra melalui semiotic, pendekatan semiotic ini
digunakan dalam menganalisa konsep sastra dalam sebuah novel Bumi Manusia.
Namun, penulis menyadari masih banyak terdapat
kekurangan baik dalam penyjian teori bahkan pemaparan analisis yang masih
kurang mendalam. Sehingga penulis berharap adanya sumbangan pemikiran atau
tanggapan yang bersifat konstruktif demi kelengkapan dan kedalaman kajian
selanjutnya.
Dengan demikian saya ucapkan terimakasih
kepada dosen pembingbing yang telah mengarahkan penulis dalam menemukan konsep
kajian dalan penelitian sastra serta kepada teman-teman dan pembaca sekalian.
Bandung, 15 November, 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Proses kajian sastra memiliki peran
penting dalam kehidupan kebahasaan serta dalam upaya pencarian makna yang lebih
dalam tentang sebuah karya sastra. Dalam hal ini dikenal beberapa macam
pendekatan sastra. Adapun pendekatan sastra disini adalah teknik yang mengarah
pada upaya untuk memperngaruhi emosi dan perasaan pembaca.
Sastra sebagai karya imajinatif yang
mempergunakan bahasa memiliki perbedaan dengan karya-karya kebahasaan
lainnya yang lebih mementingkan fungsi referensi bahasa berupa penyampaian
pesan. Sebaliknya karya sastra mementingkan fungsi estetik bahasa sebagai
sarana ekspresinya. Dalam karya sastra pengarang berusaha mendapatkan
efek dari penggunaan bahasanya itu, berupa keterkesanan dan keterpesonaan
pembaca, disamping diterimanya nilai-nilai tertentu yang biasanya
bernilai pendidikan oleh pembaca tanpa disadari. Karya sastra selalu
mendapat tanggapan dan pemaknaan yang beraneka ragam dari pembacanya dan tidak
selalu tepat dengan pemaknaan yang dimaksud penulis sastra itu sendiri. Hal
tersebut dikarenakan perbedaan zaman, pengalaman, kemampuan, pemahaman,
dan situasi pembacanya. Dengan kata lain perbedaan pemaknaan tersebut terjadi
karena horizon harapan pembaca yang berbeda, sehingga timbul bermacam-macam
penafsiran terhadap teks sastra tersebut.
Dalam kaitannya
dengan pembahasan di atas, Hirsch dalam Djoko Pradopo membedakan arti dan
makna. Menurutnya, arti yang diberikan oleh pembaca terhadap teks adalah makna
(signifikansi), ia berubah sesuai dengan horizon harapan pembaca teks sastra
tersebut. Arti yang diberikan pengarang bersifat tetap dan tidak berubah,
disebut arti (meaning).[1]
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang kajian maka
sekiranya penting menentukan rumusan malasah berikut:
1. Bagaimana
penerapan semiotic pada sastra?
2. Bagaimana analisis bumi manusia dengan menggunakan pendekatan
semiotik?
3.
Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian sederhana ini untuk
menjawab beberapa pertanyaan yang ada
pada rumusan masalah diatas
1. Untuk mengetahui
bagaimana peran semiotika pada sastra
2. Untuk mengetahui
bagaimana hasil dari analisa novel Bumi Manusia melalui pendekatan semiotik
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.
Hakikat Semiotik
Ilmu yang
mempelajari tanda dan makna disebut semiotik atau semiologi. Studi mengenai
semiotika mengarahkan dan menuntut kita untuk mengelola simbol yang diterima
untuk kemudian bisa digunakan sebagai sarana pemahaman terhadap dirinya sendiri
atau penting juga dalam mengukur tindakan berkaitan dengan hidup dan kehidupan
sosialnya. Menurut Ferdinand De Sausurre semiology
is a science which studies the role of signs as part of social life.
Sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang makna tanda, semiotika memiliki
cakupan yang sangat luas.
Ilmu yang
mempelajari tanda dan makna disebut semiotik atau semiologi. Studi mengenai
semiotika mengarahkan dan menuntut kita untuk mengelola simbol yang diterima
untuk kemudian bisa digunakan sebagai sarana pemahaman terhadap dirinya sendiri
atau penting juga dalam mengukur tindakan berkaitan dengan hidup dan kehidupan
sosialnya. Menurut Ferdinand De Sausurre semiology
is a science which studies the role of signs as part of social life.
Sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang makna tanda, semiotika memiliki
cakupan yang sangat luas.
Semiotika dapat
dijadikan sebuah pendekatan dalam melakukan analisis karya sastra. Sebuah karya
sastra entah puisi, prosa, atau drama menyajikan tanda-tanda yang dibalut dalam
makna bahasa yang digunakan. Setiap pembaca dapat mempunyai interpterasi yang
berbeda dalam memaknai satu tanda. Namun, semua itu dapat dibatasi oleh adanya
pemahaman dalam konvensi bahasa, sastra, dan budaya. Misalnya, bila dalam karya
sastra disebutkan tentang lambang atau simbol “bendera kuning”, menurut orang
Indonesia bermakna ada orang yang meninggal atau “lampu lalu lintas (merah,
kuning, hijau) tentu sudah dipahami oleh orang Indonesia.
Bahasa sebagai
media dalam memahami karya sastra memiliki peran yang besar dalam memengaruhi
pemikiran pembaca. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah adanya
bahasa. Bahasa mempunyai kekuatan dalam kesosialan lingkungan. Dapat dikatakan
bahasa merupakan pranata sosial yang di dalamnya terdapat sistem nilai dalam
masyarakat. Begitu kuatnya pengaruh bahasa maka kalangan antropologis
mengungkapkan bahwa lambang bahasa menyiratkan adanya komunitas tertentu.
Artinya sebuah komunitas akan mempunyai tanda, simbol, lambang bahasa
tersendiri dalam komunikasinya baik lisan maupun tulisan. Karena itulah bahasa
merupakan hal terpenting dalam kajian atau telaah semiotika.
Banyak definisi
dan pengertian yang diberikan para ahli terhadap semiotik, Mansur Pateda
menuliskan bahwa semiotik adalah teoeri tentang sistem tanda. Nama lain semitiok
adalah semiologi dari bahasa Yunani semeion yang bermakna tanda, mirip dengan
istilah semiotik.[2]
Alex Sobur menganggap semiotik sebagai
suatu model ilmu social yang memahami dunia sebagai sistem hubungan yang
memiliki unit dasar yang disebut tanda.[3]
Secara denetatif menurut Paul Cobley dan Litza Janzz (2002:4)
semiotic berasal dari kata same, bahasa yunani, yang berarti penafsir tanda.
Literature lain menjelaskan bahwa semiotic berasal dari kata semion yang berarti
tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagi teori, semiotic kemudia
didefinisikan sebagi studi sistematis tentang produksi dan interperensi, tanda,
bagaimana cara tanda-tanda itu bekerja, dan apa manfaatnya terhadap kehidupan.
Pokok perhatian semiotika adalah
tanda. Tanda itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki cirri khusus yang
penting. Pertama, tanda harus harus dapat diamati dan arti tanda itu harus
ditangkapmoleh si pembaca, kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain, artinya bisa mengantikan,
mewakili, atau menyajikan. Tanda dan hubungan-hubungannya kunci dari analisis
semiotic, dimana relasi tersebut kemudian memumculkan makna atau arti.
Semiotik
sebagaimana disimpulkan oleh Burhan adalah ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda. Tand adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat
berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain.[4] Perintis
awal semiotik adalah Plato (428-348 SM), ia memeriksa asal-muasal bahasa dalam
bukunya Cratylus, juga Aristoteles yang mencermati kata benda dalam bukunya Poetics
dan On Interpretation. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa
sejak awal telah disadari bahwa sistem penandaan memiliki pengaruh yang
besar, bahkan sejak dulu tanda menjadi sumber perdebatan. Meskipun konsen terhadap
sistem tanda-tanda yang ada di sekitar manusia telah ada sejak lama, tetapi
dasar penelusuran tentang tanda baru diletakkan pada abad pertengahan dalam
ajaran St. Augustinus (345-430 M).[5]
Semiotic sebagai
ilmu mempunyai tiga focus area pembelajaran, yaitu, tanda, system yang
mengaturnya, dan budaya dimana tanda tersebut berada. Tanda merupakan sesuatu
yang bersifat fisik, bis dipersepsi oleh indra. Umberto Eco menjelaskan lebih
lanjut mengenai tanda bahwa tanda adalah hal yang dapat diambil sebagai penanda
yang mempunyai arti penting untuk mengantikan, sesuatu yang lain.
Ada dua hal yang
membuat semiotika manarik bagi siapapun yang ingin mempelajarinya lebih lanjut,
yang pertama, faktanya adalah terbukti semiotika memiliki kajian aplikastif
yang mencakup semua disiplin. Yang kedua, hakikat semiotika sebagi ilmu yang
menelaah produksi dan interpretasi tanda membuatnya sudah menarik sejak awal.
Hakikat itu tidak lain dari representafif, artinya, realitas selalu melakukan
versi seseorang atau sesuatu lembaga mengenai perkara yang tersaji sebagai
realitas itu. Pada gilirannya, bisa kita pahami bila semiotika mengatakan bahwa
apa yang di anggap realitas bagi orang belum tentu demikian bagi orang lain.
2.2.
Pemikiran dan Konsep Semiotik
Disamping
tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, dalam kajian semiotic tentu kita tidak
terlepas dari teori Saurrese. Kajian semiotic adalah pengenalan atas
tanda-tanda yang terdapat pada unsur atau bagian dari kebudayaan. Saurrses
(1915) menyebutkan bahwa tanda terdiri atas dua muka yang tak terpisahkan,
yakni significant dan signifie. Untuk memahami semiotic dalam kebudayaan,
Barthes dalam bukunya yang terkenal Mythologies
(1957) telah mendefinisikan. Ia bertolak dari teori Saurrses yang melihat
semua gejala dalam kebudayaan sebagai tanda yang terjadi atas significant (penanda), yaitu gejala
terserap secara mental oleh manusia sebagai “citra akustik”, dan signifie (petanda), yaitu makna atau
konsep yang di tangkap dari significant tersebut.
Dalam kebudayaan prancis,
Barthes mengambarkan pemahaman significant
pada signifie-nya sebagai suatu
proses dua tahap. Karena significant
adalah gejala yang selain diperhatikan oleh kognisi manusia juga diproduksi,
maka bila ditinjau dari produksi tanda, significant
disebutnya expression (E) (ekspresi,
pengungkapan), signifie sebagai content ( isi atau konsep).
Menurut Barthes,
hubungan (R) antara E dan C terjadi pada manusia dalam lebih dari satu tahap.
Tahap pertama adalah dasar (primer) yang terjadi pada saat tada dipahami untuk
pertama kalinya, yang kemudian diklasifikasikan dengan R1 antara E1
dan C1. Namun pemaknaan tanda tidak pernah terjadi hanya pada
pemaknaan primer. Prosesnya akan berlanjut dengan pengembangannya pada system
sekunder yakni R2 antara E2 dan C2. System
sekunder adalah lanjutan yang mengmbangkan baik system E ataupun C.
Aliran yang lain
dalam semiotic juga dikemukanan Charles Sanders Perirce. Ia beranggapan bahwa
jagat raya terdiri atas tanda-tanda. Ini merupakan pandangan pansemiotik tentang jagat raya ini.
Peirce melihat
tanda bukan sebuah stuktur, namun berupa suatu oemaknaan “tiga tahap”. Model
peirce adalah model triadic. Manusia memberi makna pada sebuah tanda melalui
sebuah proses pemaknaan tanda yang disebut semiosis. Semiosis merupakan suatu proses
“tiga tahap”, yakni:
Tahap
1: penserapan representamen (R),
yaitu “wajah luar” tanda yang berkaitan dengan manusia
secara langsung (ini sering disamakan dengan pengertian tanda)
Tahap
2: perujukan representemenpada objek O, yakni merupakan konsep yang di
kenal oleh pemakai tanda berkaitan dengan representemen tersebut.
Tahap3: penafsiran lanjut oleh pemakai tanda,
yang disebut interpretan I setelah
repserentemen dikaitkan dengan objek.
Sementara
teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia
mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda haruslah mengacu/ mewakili sesuatu
yang disebut objek. Tanda tersebut harus ditangkap dan dipahami dalam
prespektif kesinambungan antara hubungan tanda itu sendiri, ground atau sebuah
tanda acuan atau konvensi yang mendasari pemahaman tanda, denotatum yaitu suatu
kelas dari acuan yang ditunjuknya.[6]
Dan pemahaman makna yang timbul dalam kognisi lewat interpretasi yang disebut
interperent.
Peirce
membedakan hubungan antara tanda dengan acuannya dalam tiga jenis hubungan
yiatu:
1) Ikon, jika ia
berupa hubungan kemiripan, foto, peta geografis, penyebutan atau penempatan di
bagian awal atau depan (sebagai tanda bahwa sesuatu itu dipentingkan) merupakan
contoh dari ikon.
2) Indeks, jika ia
berupa hubungan kedekatan eksitensi, misalnya asap hitam sebagi petanda adanya
kebakaran, wajah muram sebagai petanda hati yang gundah dan sedih.
3) Symbol, jika ia
berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi, misalnya morse dari
bahasa.[7]
Selanjutnya menurut
Eco ketika seseorang menuturkan kata (image) maka ia terlibat dalam sebuah
proses produksi tanda, ia memperkerjakan tanda-tanda (memilih, menyeleksi,
menata, dan mengkombinaksikan dengan cara dan aturan main tertentu).[8]
2.3
Semiotik dalam Sastra
Kajian semiotic
pada satra telah dilakukan sejak mulai diperkenalkan oleh Saussure pada tahun
1920an di eropa dan Peirce serta Moris pada masa yang sama di Amerika. Pada
saat itu, kajian semiotika telah mendorong lahirnya berbagai pendekatan dalam
kajian sastra, diantaranya pendekatan formalis, pendekatan stuktural dan
poststuktural. Diantara berbagai kajian lain, semiotika menduduki tempat yang paling penting pada dewasara ini.
Penggunaan konsep-konsep tanda dan makna dalam kajian sastra kian meluas dan dinamis
hingga terkadang para pengkajisastra sendiri memanfaatkannya secara semena-mena,
tanpa menyatakan bahwa yang ia kerjakan dalam kerangka pemaknaan semiotic
tersebut.
menurut Aminudin
menjelaskan semiotic sastra menjadi
1) Karya sastra
merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan pengarang, wujud sastra
sebagai system tanda, dan pembaca.
2) Karya sastra
merupakan salah satu bentuk penggunaan system tanda yang memikili stuktur dalan
tata tingkat tertentu.
3) Karya sastra
merupakan fakta yang harus di rekontruksi pembaca sejalan dengan dunia
pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.
Adapun beberapa
pendapat mengenai kelebihan semiotic dalam menelaah sastra yaitu:
1) Memperindah karya
sastra
2) Mengetahui
keindahan karya sastra
3) Dalam penelitian
analisanya lebih spesifik dan komperhensif
4) Memberikan
pemahaman makna dari simbolik baru dalam membaca karya sastra
5) Kita sebagi
pembaca semainimal mungkin harus mengtahui dua makna yaitu makna bahasa secara
literal dan makna simbolik (global).
Namun ada
beberapa kelemahan semiotic dalam menelaah karya sastra yaitu:
1) Kurang
memperhatikan stuktur, mengabaikan unsure intrinsic
2) Memerlukan banyak
dukungan ilmu batu lain seperti linguistic, sosiologi, psikologi dll.
3) Perlu kematangan
konsep luas tentang sastra wawasan luas, dan teorinya.
4) Peranan peneliti
sangat penting, ia harus jeli, teliti, dan menguasai materi yang akan diteliti
secara totalitas, karena kalau itu tidak dipenuhi maka makna yang ada dalam
teks cenderung kurang terekspor untuk diketahui oleh pembaca, justru cenderung
menggunakan subjektifitasnya yang menampilkan itu semua dan sangat jarang
menggunakan teorinya.
Secara definitive
tanda adalahsembarangan apa yang mengatakan tentang sesuatu yang lain dari pada
dirinya sendiri. Sastra dalam bentuk karya atau naskah juga mengandung makna
tanda-tanda non-verbal. Teks sastra pun memiliki cirri-ciri qualisigns, sinigns,
ligsigns. Qualisigns adalah citra, ide, dunis kemungkinan, dan akan menjadi
nyata apabila dimasukan kedalam sinsigns. Sinsigns adalah tampilan dalam
kenyataan, tanda tak terlembagakan, tanda tanpa kkode. Legisigns adalah tanda
yang sudah terlembagakan, tanda atas dasar peraturan yang berlaku umum.
Denotatum karya
sastra adalah dunia fiksional, dunia dalam kata-kata, dunia kemungkinan. Tiga
sifat denotatum yaitu: ikon, indeks, symbol.
Menurut van Zoest
dalam teks sastra diantara ketiga ikon yang paling menarik, ada tiga ikon yaitu
ikon tipigrafis, ikon diagramatis, dan ikon metaforis. Teks secara keseluruhan
memiliki ciri-ciri indeksikal sebab teks berhubungan dengan dunia yang
disajikan. Dikaitkan dengan teks sebagai unsure-unsur karya, dengan indeksikal
mikro, juga dibedakan atas tiga macam yaitu:
1) Indeks berkaitan
dengan dunia diluar teks
2) Indeks dalam
kaitan dengan teks sebagai interkstual
3) Indeks dalam
kaitannya dengan teks dalam teks, sebagai interseksual.
Karya sastra memiliki
watak otonom dan komunikatif, dengan demikian karya sastra dapat di tinjau
dengan pandangan semiotic secara structural (signifikasi) dan komunikatif
(ekstrinsik). Secara otonom pengkajian sastra dapat mengunakan pokok-pokok
pikiran Charles Morris (1971), menurutnya ada 4 macam yang dikaji secara
semiotic yaitu:
1)
Hubungan antara Lambing
2)
Penafsiran lambing
3)
Maksud lambing
4)
Cara pemakaian lambing[9]
Seseungguhnya
pembaca dalam tataran semiotika akan mengalami penggeseran semiotika dari tanda
yang satu ke yanda yang lain, karena pembaca berkedudukan sebagi subjek/ objek.
Sebagai subjek pembaca adalah pemberi makna atau arti dari sastra itu sendiri
dan pembuat amanat dan pemberi nilai terhadap karya sastra yang di telaahnya.
Sebaliknya sebagai objek pembaca selalu terkena bermacam pengaruh dan kekuatan
social budaya yang melingkupinya.
Novel yang
digunakan sebagi objek penelitian adalah novel sastra yang berjudul Bumi
Manusia karya Pramudya Anantatoer, seorang sastrawan terkenal di eranya pada
saat itu.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Analisis Semiotik dalam Novel Bumi Manusia
3.1.1
Biografi Pengarang
Pramudya
dilahirkan di Blora, di jantung pulau Jawa, pada tahun 1925 sebagai anak sulung
dalam keluarganya yang sederhana, ayahnya ialah guru dan ibunya adalah pedagang
nasi. Pramudya meneruskan sekolahnya pada kejuruan Radio disurabaya dna bekerja
sebagai juru ketik untuk salah satu surat kabr Jepang di Jakarta selama
penjajahan Jepang di Indonesia. Pada masa itu
perjuangan kemerdekaan Indonesia ia mengikuti kelompok militer di jawa
dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir peratng kemerdekaan. Ia mulai
menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan sempat dipenjara oleh
belanda di Jakarta pada tahun 1948-1949. Pada 1950-an ia menyanggupi tinngal di
belanda sebagai bagian dari program
pertukaran budaya, dan saat ia kembali ke Indonesia ia menjasi anggota Lekra,
organisasi sayap kiri dari Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa
itu, sebagaimana ditunjukan dalam karyanya yang berjuduk “korupsi”, yang berisi
fiksi fiktif pada pamong praja yang jatus di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan fiksi antara dia dan
pemerintah Seokarno.
Selama masa itu,
ia mulai memperlajari penyiksaan atau pelecehan pada ras keturunan tionghoa
Indonesia, dan pada saat yang sama ia mulai berhubungan erat dengan para
penulis di China. Khususnya, ia menerbitkan rangkaiyan surat menyurat dengan
penulis tionghoa yang membicarakan tionghoa di Indonesia, yang berjudul
“hoakiau Indonesia”. Ia juga merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintah
Jawa-Sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan
secara terkenal mengusulkan bahwa meski dipindahkan ke luar jawa. Pada tahun
1960-an ia ditahan oleh pemerintan Soeharto karena pandangan pro-komunis
Chinanya. Bukunya dilarang beredar di masyarakat, dan ditarik dari peredarannya
dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa dan
akhirnya di pindah di pulau-pulau di sebelum timur Indonesia.
Selain pernah
ditahan selama 3 tahun pada masa colonial dan 1 tahun pada masa orde lama,
selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan
politik tanpa proses pengadilan: 13 oktober 1965-juli 1969, juli 1969-16
agustus 1969 di pulau Nusakambangan, agustus 1969-12 november 1979 di pulau
baru, November-21 desember 1979 di magelang.
Ia dilarang
menulis selama masa penahannya di pulau baru, namun ia tetap berikeras dengan
mengatur untuk menulis dimasa penahannya dengan karya yang kini menjadi sangat
terkenal yang berjudul “Bumi Manusia”, serial
4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya minke, bangsawan
kecil jawa, dicerminkan pada pengalammnya sendiri. Jilid pertama dibawakan
secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar
negri untuk koleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dbahasa
inggris dan Indonesia.
pramoedya
dibebaskan dari tahan pada tanggal 21 desember 1979 dan mendapatkan surat
pembebasan secara hokum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih
dikenakan tahanan rumah dijakarta hingga tahun 1992, serta tahanan kota dan
tahanan Negara hingga tahun 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke
Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. selama itu ia melanjutkan
tulisannya dan menghasilkan sebuah karya yang berjudul “gadis pantai” yaitu
novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga
menulis “nyai sunyi seorang bisu” pada tahun 1995. Otobiografi berdasarkan
tulisan yang tulisannya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan dan
karya yang berjudul “arus balik” pada tahun 1995.
Ketika pramoedya
mendapatkan roman Magsasay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra
Indonesia menulis surat “protes” ke yayasan Roman Magsasay. Mereka tidak
setuju, pramoedya yang dituding sebagai “jubir sekaligus algojoLekra paling
galak, menghantam, menggasak, membantai dan menggayang.” Dimasa demokrasi
terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan
yang dianugrahkan kepda pramoedya.
Tetapi beberapa
hari kemudia, taufik ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu.
Katanya bukan menuntut pencabutan melainkan mengingatkan ‘siapa pramoedya itu’.
Katanya banyak orang yang tidak mengetahui ‘reputasi gela’ Prama dulu. Dan
pembicaraan penghargaan magsasay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di
pihak lain, Mocthar Lubis malah mengancam membalikan hadiah Magsasay yang
dianugrahkan kepadanya di tahun 1958, jika Pram sebutan promoedya oleh kawan se
proprsinya, tetap dianugrahkan hadiah yang sama, Lubis juga mengatakan, HB Yassin
pun akan mengembalikan hadiah Magsasay yang pernah diterimanya, tetapi ternyata
dalam pemberitaan berikutnya, HB Yassin malah mengatakan yang lain sama sekali
dengan penyatan Mocthar Lubis.
Dalam begbagai
opini-opini di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagi korban
dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawaban Pram, untuk
mengakui dan meminta maaf akan segala peran ‘tida terpuji’ pada ‘masa paling gelap bagi kraetivitas’ pada jaman demokrasi terpimpin. Pram, kata Mochtar
Lubis, memimpin penindasan sesame seniman yang tak sepaham dengannya. Sementara
Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidato dimasa pra-1965 itu tak
lebih dari ‘golongan polemic biasa’ yang boleh diikuti oleh siapa saja. Dia
menyangkal telah terlibat berbagai aksi yang ‘kelwat jauh’. Dia juga merasa
difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan ia menyarankan agar
prakarya dibawa kepengadilan saja jika memang mempunyai materi yang cukup.
Kalau tidak cukup bawa saja ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan
saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya. Semenjak Orde Baru berkuasa
Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasab menyuarakan suaranya sendiri, dan
telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di salah satu
Koran.
Pramoedya telah
banyak menulis kolom artikel pendek yang mengkritik pemerintah Indonesia
terkini. Ia menulis buku “perawan remaja
dalam cengkraman militer”, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan
pawa wanita jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan
jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Baru
dimana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal disana dari pada
kembali ke jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan
tahanan politik di Pulau Baru selama masa 1970-an.
Banyak dari
tulisannya menyentuh tema interaksi antar budaya: antara belanda, kerajaan
jawa, orang jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga
semi-otoboigrafi, dimana ia mengambarkan pengalamannya sendiri. Ia terus aktif
sebagai penulis dan kolumis. Ia memperoleh hadia Roman Magsasay untuk
Jurnalisme, sastra, dan seni komunikasi kreatif 1995. Ia juga telah
mempertimbangkan untuk hadiiah Nobel sastra. Ia juga memenangkan haidah Budaya
Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors’ Union Award untuk
sumbangan sastra pada dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada
tahun 1999 dan memenangkan hadiah dari University Michigan.
Sampai akhir
hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya
yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada tanggal 12 januari 2006, ia
dikabarkan telah 2 minggu terbaring sakit di kediamnya di Bojong Gede, Gede
Bogor lalu dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, pramoedya menderita
diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah. Pda tanggal 6 febuari 2006 di
teater Kecil Taman Ismail Marzuki diadakan pameran khusus tentang sampul buku
dari karya Pramoedya. Pameran bertajuk Pram,
buku dan Angkatan Muda menghadirkan
sampul-sampul buku yang pernah di terbitkan oleh manca Negara. Ada sekitar 200
buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia.
3.1.2 Sinopsis Novel Bumi Manusia
Roman “Bumi
Manusia”seseungguhnya roman sejarah yang mengambarkan perlawanan. Perlawanan
kaun terdidik pribumi terhadap penjajah, dan kaum pribumi sendiri yang
mempunyai kekuasaan; para kaum priyayi. Perlawanan tersebut ditunjukan oleh
tokoh perumpuan, Nyai Ontosoroh yang didukung oleh tokoh utama Mingke, pada
beberapa peristiwa yang digambarkan dalam cerita, terutama terhadap suaminya
sendiri yang notabene adalah seorang belanda, pejabat VOC.
Mingke sendiri
adalah anak seorang bupati, yang mendapat kesempatan bersekolah di sekolah
Belanda, sekolah HBS di Surabaya. Dengan pendidikan yang ia dapatkan, perilaku
dan gaya pemikiran pun ikut ke barat-baratan. Selain kepada suaminya, Nyai
Ontosoroh juga melawan orang tuanya, yang telah tega mempersembahkan dirinya
kepda seorang pejabat VOC (suaminya) untuk menjadi gundik (isri simpanan, atau
istri sirih).
Dalam situasi
tersebut, sang Nyai berlaku keras memutuskan tali silaturahmi dengan kedua
orangtuanya. Ia tidak mengakui lagi kedua orang tuanya. Sementara Mingke, juga
secara diam-diam melawan tradisi jawa yang ia anggap tidak memanusiakan
manusia. Menciptakan kelas social, dan cenderung merendahkan martabat
perempuan. Keduanya terlibat dalam sebuah perjuangan, setelah Mingke resmi
menikah dengan putrid Nyai Ontosoroh yang bernama Annelies. Perjuangan mereka
dimulai setelah suami Nyai Ontosoroh, Tuan Herman Mellema, meninggal dunia
dalam kondisi mengenaskan disebuah rumah border
milik baba Ahong, yang juga adalah tetangga mereka sendiri. Insinyur Maurits Mellema yang merupakan anak
Herman Mellema dengan istri pertamanya di Nederland tiba-tiba kembali
menghantui atau mengusik keluarg Nyai Onatosoroh.
Sebagai anak
pertama dari istri pertama, ia keberatan dan menggugat. Ia menginginkan semua
harta benda ayahnya sebagai warisan yang hanya untuknya. Mauritus bersikereas
karena ia anak pertama dan anak sah tuan Mallema dari hubungan yang sah pula.
Bukan seperti kedua saudari tirinya, yang lahir dari hubungan suami istri yang
tidak sah menurut Negara dan agama. Gugatan yang dilayangkan Mauritus melalui
pengadilan putih ketika itu bukan hanya berbuntut pada harta warisa, tapi juga
menghendaki Annalies untuk dibawa ke Nederland. Perlawanan atau gugatan
Mauritus tersebut disambut hangat oleh media cetak.
Sebagi seorang
siswa HBS yang tulisannya sudah menghiasi halaman-halaman Koran, Mingke
mengunakan tulisan-tulisannya sebagai alat perjuangan,untuk mempropaganda.
Dalam tulisan-tulisannya, Mingke mencoba membangun opini public bahwa perjungan
mereka melawa Mauritus di pengadilan, bukan hanya perjuangan perebuatan harta
gono-gini dalam sebuah keluarga melainkan juga adalah sebuah perlawanan atas
kuasa bangsa penjajahan. Perjuangan yang penuh suka cita itu tak bertuntut
baik. Orang-orang yang bersimfatik untuk membantu Nyai Ontosoroh dan Mingke tak
mampu berbuat banyak. Akhirnya pengadilan putih memutuskan kemenangan Mauritus
sebagai penggugat. Ia menguasi semua harta ayahnya dan membawa adik tirinya ke
Nederland berikut ini adalah dialog terakhir antara Mingke dan ibu mertuanya.
“kita kala, Ma.”
“kita telah
melawan Nak Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,”
3.2 Pemaparan pada novel bumi manusia dengan
pandangan Semiotik
Bumi Manusia (BM) merupakan salah satu
mahakarya dari Pramoedya Ananta Toer yang merupakan novel pertama dalam
tetralogi Pulau Buru. Kisah dalam BM berangkat dari abad ke-19 yang pada saat
itu masa kolonialisme Belanda masih menjajah di bumi pertiwi. Latar tempat
peristiwa banyak terjadi di Pulau Jawa tepatnya di Wonokromo, Surabaya, Jawa
Timur. Suasana zaman penjajahan yang menegangkan, mengharu biru, mencekam, dan
memprihatinkan melatari penggalan demi penggalan cerita, meskipun ada beberapa
penggalan yang menyentuh naluri percintaan.
Cerita dalam BM diawalai dengan perkenalan dari tokoh utama. Seorang laki-laki
muda yang penuh semangat, nasionalis, dan berwatak open minded. Minke sebutan untuk tokoh utama itu yang berasal dari
golongan bangsawan atau priyayi Jawa. Jiwa pribumi begitu kental dalam dirinya.
Meski dibesarkan dalam lingkungan serba ada, ia ternyata tetap menjaga jarak
dengan kaum darah biru, terutama orang asing totok.
Sebagai anak pribumi ia berhasil
menyenyam bangku pendidikan di sekolah paling bergengsi kala itu, HBS (Hogere Burger School). Upaya itu ia
lakukan agar keluar dari kerangka kolonialis yang feodalistis. Apa lacur, tetap
saja perlakuan padanya masih diskriminatif. Dirinya yang berasal dari kaum
terpandang dan masih bisa mendapatkan sokongan dari pemerintah kolonial, dalam
pergaulan tidak demikian. Saat pertama kali ia masuk sekolah elite tersebut, ia
harus menanggalkan pakaian keeropaannya dengan balutan tradisi adat Jawa. Yang
harus ia kenakan karena sesuai dengan latar belakang asalnya yang notabene
seorang pribumi. Selain itu, terlihat jelas dari namanya “Minke” plesetan yang
berasal dari “Monkey”, itu panggilan diskriminatif dari rekan-rekan
kolonialisnya. Panggilan yang bernada sentimen rasialis itu sebenarnya bukan
tanpa maksud dan makna. Tanda atau lambang itu bila dikaitkan dengan tataran
bahasa budaya Jawa akan terlihat maksudnya. Di dalam hierarki berkomunikasi budaya
Jawa dikenal adanya budaya berbahasa antarkelas. Tatarannya adalah adanya bahasa
krama inggil, krama madya, dan ngoko. Dalam bekomunikasi krama
inggil diucapkan seseorang berderajat sosial lebih rendah kepada lawan
bicara yang berstatus sosial lebih tinggi. Namun, lawan bicara yang berderajat
sosial tinggi cukup membalas dengan bahasa Jawa ngoko. Dalm hal ini
untuk penyebutan "kamu", (bahasa Jawa ngoko-nya
"kowe" yang berarti "anak monyet"). Kata monkey, kowe,
dan monyet setidaknya menjadi lambang pemisahan antargolongan dalam
cerita tersebut. Yaitu adanya jurang antara golongan bangsawan, Indo (campuran
pribumi dan asing), totok (asli Eropa), dan rakyat jelata atau pribumi.
Saat bersekolah di HBS dia begitu
kagum pada guru bahasa dan sastra Belanda, Magda Peters. Ia adalah seorang
perempuan Perancis penganut aliran etis serta sering mengajarkan hakikat
kebebasan manusia melalui karya sastra. BM juga diwarnai oleh bumbu
kisah percintaan Minke. Tokoh ini bertumbuh menjadi lelaki dewasa setelah
memadu kasih dengan Annelies Mellema. Gadis indo terlahir dari rahim seorang
nyai bernama Ontosoroh alias Sanikem yang “dijual” oleh bapaknya kepada
pembesar pabrik gula Tulangan, Sidoarjo bernama Herman Mellema. Kehadiran Minke
di tengah-tengah keluarga Mellema tak disukai Robert, kakak Annelies. Pemuda
peranakan Jawa-Belanda itu menunjukkan sikap antipati terhadap segala sesuatu
yang berhubungan dengan yang namanya pribumi.
Dalam kisah asmaranya dengan
Annelies, ia dipertemukan oleh seorang nyai yang justru ia kagumi karena
kegigihan sang nyai. Meski dari kalangan pribumi, Sanikem atau Nyai Ontosoroh
adalah satu replika tokoh pribumi yang cerdas dan gigih. Bila ditelaah lebih
dalam, sosok nyai ini adalah perlambang pribumi yang tertindas pada masa itu
yang ditampilkan dalam sosok seorang perempuan nyai. Sebutan nyai atau gundik disini berarti perempuan simpanan
atau yang dinikahi tidak secara sah artinya tidak secara hukum yang pada
akhirnya berimbas pada perlakuan hukum formal kolonialis bagi dirinya.
Keluarga Mellema tinggal di sebuah rumah yang dijuluki Boerderij
Buitenzorg. Sesungguhnya sebutan ini
hanya bagian dari simbol era kolonialisasi. Dalam pengertiannya Boerderij
‘istana’ Buitenzorg ‘bebas masalah atau kesulitan’ tak terletak di
wilayah Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur. Nama itu lebih mengacu pada bangunan
megah di pusat kota Bogor, Jawa Barat, sekarang lebih dikenal dengan sebutan
Istana Bogor. Kondisi sosiokultur masyarakat Jawa pada abad 19 masih erat
menggenggam watak feodal sehingga berakibat timbul sinisme terhadap sosok
nyai-nyai, seperti Sanikem. Jangankan masyarakat sekitarnya sudi melihat isi
dan proses hidup sang nyai menghadapi perilaku keluarga (terutama suami dan
anak laki-laki) sebagai representasi "negara", sinisme masyarakat
justru meletakkan posisi Ontosoroh sebagai seorang nyai. Nyai yang sudah
disebutkan sebelumnya dianggap wanita rendahan karena dinikahi tidak secara
sah. Hanya simpanan kaum bangsawan Indo atau totok.
Sosok Minke sebagai terpelajar meskipun telah berusaha sekuat mungkin menghindari
dan melawan sikap pemisahan (segregasi) ras, lingkungan sosial tak pernah
beranjak ke arah tatanan masyarakat yang lebih humanis. Terbukti dari
hukum positif formal perkawinan versi kolonial menolak perkawinan
Minke-Annelies yang dilakukan secara Islam. Sistem pendidikan Eropa di luar
kota kelahiran Minke, memang mengakibatkan putusnya kelangsungan tradisi sebuah
keluarga dalam kehidupannya. Akan tetapi, itu tidak membuat Minke sepenuhnya
memiliki identitas alternatif. Setinggi apapun ia terangkat oleh pendidikannya,
ia tetap seorang pribumi, tetap warga negara kelas dua. Perkawinan
Minke-Annelies dalam hukum Islam tidak mampu melawan rasialisme antipribumi.
Sikap masyarakat kolonial yang rasialis merupakan simbol atas wujud adanya
pemicingan terhadap kedaulatan sang pribumi.
Hal serupa dibuktikan ketika Nyai Ontosoroh dan Annelies dipanggil
pihak pengadilan yang melanjutkan
gugatan tentang hak waris dan pemeliharaan anak dari pengadilan di Amsterdam.
Peristiwa itu diawali dari kedatangan Maurits Mellema, anak sah (dalam versi
hukum perkawinan kolonial Belanda) dengan Herman Mellema. Herman Mellema mempunyai anak dan istri di
negara asalnya, akan tetapi dia menikah dengan wanita pribumi dan mempunyai
anak pula. Dari pengadilan diputuskan bahwa perkawinan Nyai Ontosoroh dengan
Herman Mellema tidak sah berikut perkawinan Minke dan Annelis. Pengadilan
memutuskan bahwa seluruh harta dan kekayaannya jatuh ke tangan Maurits Mellema.
Namun, harta benda di pabrik itu sebenarnya adalah hasil jerih payah Ontosoroh
dan Annelies. Herman dan Robert Mellema tak banyak ikut campur. Bapak-anak itu
terjebak atau mungkin sengaja menenggelamkan diri dalam rumah pelacuran miring
tokoh Tonghoa, Baba Ah Tjong. Sistem pengadilan saat itu tidak memberikan
kesempatan pribumi membela diri. Maka Annelis Mellema harus di bawa Maurits ke
Belanda. Pada saat itu Annelis jatuh sakit, tetapi hukum yang berlaku telah
memaksanya dan memisahkannya dari ibu kandungnya dan suaminya.
Sungguh
ironis, orang asli yang sah mempunyai bumi kelahiran tidak bisa berlaku
apa-apa. Hukum yang berkuasa memutuskan hubungan ibu dan anak, suami dan istri.
Hukum buatan manusia rasis yang semena-mena dan lunturnya kemanusiaan yang
menyentuh sampai di dasar hati. Novel bergenre satire ini memaparkan
coreng-morengnya bumi yang dihuni oleh makhluk bernama manusia. Kiranya kita
bisa memetik pelajaran moral dari novel ini .
“Apakah BM seolah menjadi cermin tentang sikap masyarakat dan
negara terhadap hukum perkawinan maupun hukum waris seperti saat ini? Rupanya,
negara saat itu telah ikut campur dalam urusan perkawinan maupun hak waris.
Bukan lagi dalam term antiras pribumi nusantara, tetapi lebih pada upaya
politisasi legal formal sebuah perkawinan atau hak waris.”
Selanjutnya dalam
menganalisa unsure semiotic dalam suatu karya sastra, maka perlu juga adanya
penafsiran dari setiap kata atau dikenal denganistilah heuristic, atau disebut
dengan semiotic tingkat pertama, dan juga penafsiran secara totalitas yakni
dikenal dengan istilah hermeunitik, atau disebut juga dengan istilah semiotic
tingkat kedua, adapun contoh pengenalan kedua unsure semiotic tersebut adalah
sebagai berikut:
Secara heuristic
1. Nyai
Secara heuristic
(semiotic tingkat pertama) kata “Nyai” sudah dapat diinterpretasikan sebagai
symbol ketercelaan atau hinaan dalam
masyarakat jawa yang diletakan pada perempuan simpanan, atau mereka yang
dijadikan gundik atau istri simpanan para penjajah, atau mereka yang dijadikan
gundik kaum priyayi atau oleh petinggi VOC. Tanda atau symbol tersebut hidup
dimasyarakat jawa pada zaman colonial.
2. Rumah border
Kata Rumah border sudah dapat
dipastikan itu bukan arti sebenarnya melainkan symbol dari suatu makna yang
terdapat didalamnya yakni suatu tempat yang penuh dengan dunia kegelapanatau
dunia maksiat, wanita yang ada di dalam tempat itu sudah pasti wanita yang
tidak baik dan symbol tersebut sudah melekat di masyarakat sejak zaman colonial
karena pada zaman itu lah rumah border menjadi lebih terkenal karena para
penjajah sangat senang berada di temapt itu
3.
Priayi
Kata Priayi sudah dapat diartikan
adalah symbol dari kekuatan, kehormatan, derajat dari seseorang yang mempunyai
segala hal, kata priayi merupakan kata atau panggilan terhadap masyarakat
pribumi khususnya jawa yang mempunyai kededukan tinggi.
4.
Menir
Kata menir merupakan symbol bagi orang
belanda yang sedang menjajah Indonesia, dimena mereka di sebut menir oleh
rakyat pribumi dan sebutan itu hanya untuk bangsa penjajah saja.
5.
Minke
“Minke” plesetan
yang berasal dari “Monkey”, itu panggilan diskriminatif dari rekan-rekan
kolonialisnya. Panggilan yang bernada sentimen rasialis itu sebenarnya bukan
tanpa maksud dan makna. Tanda atau lambang itu bila dikaitkan dengan tataran
bahasa budaya Jawa akan terlihat maksudnya.
6. Kamu
Kata "kamu", sudah dapat diinterpretasikan sebagai
symbol ketercelaan atau hinaan dalam bahasa Jawa ngoko-nya "kowe" yang berarti "anak
monyet". Kata monkey, kowe, dan monyet setidaknya
menjadi lambang pemisahan antargolongan dalam cerita tersebut. Yaitu adanya
jurang antara golongan bangsawan, Indo (campuran pribumi dan asing), totok
(asli Eropa), dan rakyat jelata atau pribumi.
7. Boerderij Buitenzorg
Sesungguhnya sebutan ini
hanya bagian dari simbol era kolonialisasi. Dalam pengertiannya Boerderij
‘istana’ Buitenzorg ‘bebas masalah atau kesulitan’.
Secara hermeunitik
1. Nyai
Secara
hermeunitik (semiotic tingkat kedua) kita dapat menafsirkan keberadaan “nyai”
tersebut menunjukan tanda kehidupan perempuan pribumi yang dipandang rendah
oleh bangsawan colonial, sehingga tahapan pemaknaan secara totalitas melekat
pada Nyai Ontosoroh sebaga perempuan pribumi yang menjadi gundik pada masa
colonial. Nyai Ontosoroh merupakan mertua Mingke, tokoh utama dalam Roman Bumi
Manusia.
2. Rumah border
Kita dafat menafsirkan kata rumah
border dapat menunjukan tanda kehidupan yang sangat suram dimana perempuan
pribumi di perjual belikan kepada para penjajah mereka dipajang layaknya
pakaian yang akan di jual.
3.
Priayi
Kita dafat menafsirkan bahwa kata
priayi dapat menunjujan kekuasaan pribumi khususnya orang jawa, kata ini mulai
dikenal pada masa colonial bahkan samapai sekarang penggunaan kata itu masih
dipakai di daerah-daerah tertentu di Jawa.
4.
Menir
Kata menir dapat dipastikan bahwa
menir menunjukan panggilan bagi para penjajah oleh raykat pribumi.
5.
Minke
Panggilan “Minke” mempunyai makna tersendiri yang apabila
ditellah lebih jauh arti kata minke merupakan plesetan yang berasal dari “Monkey”, itu panggilan diskriminatif dari
rekan-rekan kolonialisnya. Dan panggilan itupun merupakan panggilan
ledekn atau cemoohan dari kaum colonials di sekolahnya.
6. Kamu
Kata "kamu", kita dapat menafsirkan keberadaan “kowe”
tersebut menunjukan tanda kehidupan kaum pribumi yang dipandang rendah oleh
bangsawan colonial, sehingga tahapan pemaknaan secara totalitas melekat pada
sudah dapat menjadi lambang pemisahan
antargolongan dalam cerita tersebut. Yaitu adanya jurang antara golongan
bangsawan, Indo (campuran pribumi dan asing), totok (asli Eropa), dan rakyat
jelata atau pribumi.
7. Boerderij Buitenzorg
Sesungguhnya sebutan ini
hanya bagian dari simbol era kolonialisasi. Dalam pengertiannya Boerderij
‘istana’ Buitenzorg ‘bebas masalah atau kesulitan’.
3.2.1 ketidaklangsungan Ekspresi dalan Novel
Bumi Manusia
Dalam kajian semiotic
novel Bumi Manusia banyak terdapat ungkapan-ungkapan yang secara tidak langsung
dinyatakan. Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan suatu system tanda yang
menunjukan system budaya pada saat itu. Sehingga, beragam kata yang ditemukan
dalam novel tersebut merupakan ke khasan bahasa Pramoedya dan juga suatu model
ungkapan yang memunculkan banyak makna, dengan demikian semakin banyak jenis
dimana posisi semiotic memiliki peranan penting dalam menginterperesikan
tanda-tanda atau ungkapan-ungkapan yang dinyatakan secara tidak langsung,
bahkan melaluui symbol-simbol kehidupan sekaligus.
Disamping itu,
jelas juga tergambarkan model pengungkapan yang secara tidak langsung
mencirikan karakter perbedaan atau status budaya dalam tafsiran Pramoedya,
antara lain sebagai berikut:
1. Pada jam lima
sore Surabaya telah ada di bawah roda
kereta.
Tahapan proses pemaknaan semiotiknya
adalah: telah ada bawah roda kereta (representemen), yang menjelaskan tempat
(Objek) yaitu Surabaya. Sehingga analisis semiotic menunjukan bahwa akan
keberadaan kereta di suatu tempat atau daerah.
2. Produk jawa yang
dibesarkan eropa
Seorang Minke
yang merupakan keturunan Kawa di gambarkan oleh Pramoedya sebagai pribumi yang
berilmu dan berpengetahuan tinggi tentang eropa, dimana pada akhirnya dialah
yang dihadapkan pada dua sisi bandingan atau buruk budaya Jawa dan Eropa. Ini
dapat dilihat pada:
“ilmu dan
pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan kusaksikan sendiri pernyataan
dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada
umumnya. Menyalahi wujudku sebagai orang Jawa atau tukdak aku pun tidak tahu”
(hal 2)
Juga pada:
“jelas aku
keturunan sastria jawa maka sendiri seorang satria jawa pula. Hanya mengapa
justru bukan orang jawa yang membikin aku menjadi begini gagah? Dan ganteng?
Mengapa orang Eropa?...” (hal. 128)
Hal yang sama
juga terjadi pada Nyai Ontosoroh yang dalam hal ini adalah seorang pribumi
namun karena menjadi gundik Herman Mallema, maka secara tidak langsung budaya
Eropa tertanam dalam dirinya, terlihat ketika dia membiarkan putinya tidur
sekamar dengan lelaki yang bukan suaminya yaitu Minke meski budaya Jawa hal ini tidak
dipernenankan.
3. “Malu” hanya milik orang jawa dengan segala
kerendahannya
“jsngsn sekali-kali bicara soal malu tentang
eropa. Mereka hanya tahu mencapai maksud-maksudnya. Jangan kau lupa, Nak Nyo”
(hal 330)
Pengalaman
tersebut menunjukan bagaimana eropa yang tidak pernah tahu malu, berbeda dengan
orang Jawa yang selalu memegang teguh kehormatan meski untuk melindungi
kehormatannya itu mereka selalu merendah, pasrah dan tak jarang malatah. Ini
karena rasa malu yang dimiliki orang jawa, takutnya seandaninya pandangan orang
lain atas dirinya jatuh.
4.
Ilmu pengetahuan dan hokum Eropa yang buta
“ilmu pengetahuan semkin banyak melahirkan keajaiban.
Dongengnya leluhur sampai pada malu tersipu. Tak perlu lagi orang betapa
bertahun untuk dapat berbicara dengan seseorang diseberang lautan.. (hal. 316)
Ilmu pengetahuan
sebenarnya yang membuat eropa begitu kuat dan berkuasa, sedang orang jawa yang
selamanya selalu hanya menunggu hasil cipta bangsa Eropa masih terlihat
kebudak-budakan seperti dibawah ini:
“Minke kalau kau
bersikap begitu terus, artinya mengambil sikap eropa, tidak kebudak-budakan
seperti orang jawa seumumnya, mungkin kelak kau bisa jadi orang penting..”
(hal. 143)
Sedangkan untuk
hukum ysng mengatur dan mengikat, seakan tidak ada nurani dalam hukum itu
sendiri. Apa yang telah diputuskan maka itulah yang harus dijalankan.
“dengan akan
dilaksanakan perampasan terhadap istriku daripadaku sesuai dengan keputusan
pengadilan, bertanyalah aku pandai nurani Eropa: adakah perbudakan terkutuk ini
akan dihidupkan kembali..”(hal 336)
Sampai pada
akhirnya Minke harus kehilangan seornag istri yang telah dinikahinya secara
syah dan kalah pada keputusan pengadilan yang mencoba menginventariskan
masnusia.
Dari beberapa
uraian diatas tergambar jelas gaimana seorang Minke dalam menghadapi dua budaya
sesungguhnya dia lebih menerima cara pandang eropa yang terbuka untuk maju dari
pada cara pandang jawa yang selalu merendah, sedangkan unutk hukum, dia lebih
menereima hukum jawa yang didasarkan pada etika dan nilai kemanusian dapripada
hukum Eropa yang buta. Semua bahasa atau ungkapan-ungkapan diatas yang
dimunculkan menunjukan polemic tanda kehidupan yang serat dilematis.
Unsure-unsur
ketidaklangsungan ekspresi dalam Roman tersebut menjadi cirri penulisan dalam
menawarkan makna kehidupan melalui tanda-tanda budaya yang melekat pada saat
itu, sehingga kekhasan pengungkapan menjadi milik sepenuhnya pengarang dan
pembaca juga merupakan subyek utuh dalam menafsirkan makna dan tanda dengan
senantiasa memahami latar belakang seta alur lehidupan pada masa itu. Jadi,
ketidaklangsungan ekpresi akan turut dipahami pembaca melalui kedalaman
berpikir dan memperhatikan pengaruh-pengaruh ekpresi secara menyeluruh.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Karya sastra
adalah cerminan kehidupan social. Ia merupakan kristalisasi nilai dan
pengalaman hidup. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan adalah
kenyataan budaya, kehidupan mencakup hubungan antara manusia, hubungan antara
masyarakat, dan antara masyarakat yang terjadi dalam batin manusia, paparan
tersebut menunjukan bahwa karya sastra tidak berangkat dari ketiadaan
budaya. Kode budaya dalam sastra memberi
pengertian bahwa karya sastra merupakan wujud hasil budaya yang di dalamnya
jelas terepresantikan nilai-nilai nudaya masyarakat. Seperti yang ditunjukan
Pramoedya anantatoer dalam novel bumi manusia ini, budaya barat yang berkembang
dengan cepat dihadapkan pada budaya timur khususnya budaya Jawa.
Pentingnya
menganalisis makna dalam sebuah karya sastra menjadi keharusan manangkala
pembicara ingin memahami secara mendalam keindahan dan unsure etik dalam suatu
karya sastra, sehingga beragam pendekatan yang ada merupakan jalan yang tepat
digunakan untuk menganalisis sebuah karya sastra. Semiotic adalah salah satu
pendekatan yang kerap digunakan dalam menganalisis karya sastra dengan tinjauan
dan pemberian makna terhadap beragam tanda yang muncul.
Saran
Dalam penganalisaan
ini, penulis memaparkan konsep pendekatan semiotika yang cukup sederhana bila
ditinjau dari konsep analisis yang sebenarnya, dalam arti, penulis masih
menginterpretasikan kedalam pendekatan semiotic dengan singkat, dengan demikian
panulis berharap adanya kelayakan dan tinjauan yang lebih dalam terhadap
prosess aplikasi dan telaah sebuah karya
sastra dalam pendekatan semiotic demi kelengkapan dan pengembangan pengetahuan
bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Toer, Pramoedya,
Ananta. 2006. Bumi Manusia. Jakarta:
Lentera Dipantara.
Zamzamah,
Sarjinah. 2000. “Semiotika dalam Berhala”, Tonil,
volume 1, nonor 1,
November.
http://c2o-library.net/catalogue/antropologizmo/details/29413.html
Paradopo Djoko
Rachmat, 2002, Kritik Sastra
Indonesia Modern, Yogyakarta: Gama Media
Pateda Mansur, 2001, Semantik Leksikal , Jakarta:
Rioneka Cipta
Sobur Alex, 2001, Analisis Teks Media, Bandung: Remaja
Rosda Karya
Nurgiyantoro
Burhan, 1998, Teori Pengkajian Fiksi,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Cobley Paul,
2002, Semiotika for Beginners,
Bandung: MIzan
Santosa
Puji, 1993, Ancangan Semiotika dan
Pengkajian Susasatra, Bandung: Angkasa
[1] Rachmat Djoko
Paradopo, Kritik Sastra Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gama Media, 2002),
h. 40
[4]Burhan
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1998), hal. 40
[5]
Paul Cobley, Semiotika for
Beginners,(Bandung: MIzan, 2002)., hal. 6
[6] Uki Sukiman, ikonitas
dalam Novel Hmamah Salam Karya Najib al-Kailani dalam jurnal Adabiyat
vol.1. No. 2, Maret 2013 (Yogyakarta: Jurusan BSA Fakultas Adab IAIN Sunan
Kalijaga, 2003), hal. 114
[7] Tommy Chistomy, Semiotika
Budaya, (Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, UI: Depok, 2004), hal.
17
[8] Alex Sabour, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja
Risda Karya, 2003), hal. xiv
[9] Puji Santosa, Ancangan
Semiotika dan Pengkajian Susasatra, (Bandung: Angkasa, 1993), hal. 20
assalamualaikum wr wb,
BalasHapussaya ingin menanyakan apakah benar ini skripsi mbak riany? http://digilib.uinsgd.ac.id/5067/ (Polysemy In Computer Terms)
mohon balasannya, terima kasih